Tahun Baru
Bagiku, pergantian tahun ini masih seperti berganti celana dalam. Buka, dan pakai, beres. Tidak ada yang spesial, pun tidak ada harapan atau resolusi yang entah.
Aku hanya membiarkan diri bernafas, dan mengoles tawa bersama topeng-topeng yang menyebut dirinya teman, sahabat, atau orang yang hanya sekedar numpang lewat. Walau tak sedikit dari mereka terkadang menyerupa nyamuk yang diam-diam menghisap darahku, lalu tertawa-tawa melihat luka yang sengaja mereka toreh itu.
Namun, tahun baru ini terasa berbeda ketiga gaung suara menyentuh gendang telingaku.
luka ngucap dalam badan/ kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung/ ke bintang-bintang/ lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku/ untuk kuburmu alina//
untuk kuburmu alina/ aku menggali-gali dalam diri/ raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam/ menyeka matari membujuk bulan/ teguk tangismu alina//
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur/ laut pergi ke awan membawa kubur-kubur/ awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur/ hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga/ membawa kuburmu alina//
Demikian suaramu yang mengaum bak suara dalam kubur. Tubuhku seketika bergerak, mencari asal suara.
Di sana, di sana!
Dia bertekuk lutut dengan wajah sayu. Selembar kertas ditanganmu yang menggantung. Kuhela nafas yang tak sengaja kutahan, sementara dia bangkit dan memberi hormat.
Dia yang membaca sajak Perjalanan Kubur, itu? Dia siapa? Mataku terasa asing pada sosok itu. Batinku terus berceloteh. Sekali lagi kulihat sosok dia. Rambut panjang ikalnya yang dikuncir, jambangnya yang menggaris di kedua pipi, alis yang tebal, senyum yang malu-malu.
Dia siapa? Sekali lagi dalam diam kubertanya. Sementara mata terus menyetubuhinya.
Ah! Peduli amat, meski dia tampan, tapi dia sudah benar-benar merusak tahun baruku dengan sajak itu. Tahun ini, tahun kematianku, aku rasa.
Ah, entahlah.
Tapi, kau tampan, jejaka. Siapakah namamu?
0 Comments