Kepalaku Bukan Batu
"Hey!" Dia mendorong kepalaku dengan keras, dan kasar. Aku mendelik seketika, dan beberapa detik kemudian tanganku sudah dikerah bajunya, dan kepalan tangan siap di depan wajahnya. Dia tampak kaget dengan reaksiku itu, pasti tidak pernah ada yang berani melakukannya sebelum ini. Jujur, aku juga kaget dengan reaksiku. Namun, lebih kaget lagi dengan apa yang ia lakukan pada kepalaku.
Dengan kikuk, aku melepaskan cekalanku, lalu mundur beberapa langkah. "Meskipun kau melakukannya untuk menunjukkan bahwa aku tolol, perbuatanku tidak terampuni, aku bodoh, dan maksudmu hanya bercanda. Tapi, jujur aku tidak suka dengan tanganmu di kepalaku. Tidak dengan cara sekasar itu...," ujarku dengan pelan. "Kau ingat ini baik-baik, isi kepalaku memang tidak secerdas Einstein atau orang-orang hebat itu, tapi aku tidak akan membiarkan orang lain menyentuhnya." Aku menatapnya yang masih tetap tidak bereaksi, hanya menatapku dengan tatapan yang sama seperti tadi. Kaget, dan tidak mengerti. "Dengar, kedua orang tuaku yang telah mengurusku sedari aku kecil pun, tidak pernah memperlakukan aku dengan cara sekasar itu. Kau, kau hanya sahabatku. Orang yang baru masuk ke hidupku beberapa tahun saja. Beraninya kau menyentuh kepalaku...," sambungku sebelum akhirnya aku berlalu dari hadapannya yang masih diam, seakan masih belum percaya dengan apa yang aku katakan.
Itu dahulu!
I-t-u d-a-h-u-l-u!
Sekarang, saat ini, detik ini, seseorang melakukan hal demikian pada kepalaku. Pada satu-satunya bagian tubuh yang tidak kuperbolehkan untuk dikasari. Sementara orang yang melakukan itu masih duduk di sana, dengan kata-kata dan kalimat panjang lebar. Dia masih terus bercerita, dan tidak memperhatikan reaksiku yang...... Ah, entahlah. Aku juga tidak tahu bagaimana reaksiku saat ini. Kaget, tentu saja. Tidak suka, dan keinginan untuk melakukan apa yang sering aku bicarakan pada orang-orang yang memperlakukan kepalaku itu jelas tergambar di wajahku. Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Dia, orang yang baru saja mendorong kepalaku dengan kasar itu adalah orang yang usianya sama dengan ibuku. Juga, dia, orang yang baru saja mendorong kepalaku dengan kasar itu... adalah calon mertuaku.
Harus apa aku sekarang? Apa aku mesti mengatakan hal yang sama, atau diam saja dan membenarkan apa yang dia lakukan atas kepalaku? Tidak, tidak, aku tidak mau melakukan keduanya. Tapi, kenapa aku diam saja sekarang?
Berbagai pertanyaan, pernyataan, penolakan, semuanya simpang siur di kepalaku. Hingga, aku tak jelas lagi dengan apa yang dibicarakan oleh calon mertuaku itu. Aku hanya duduk diam seolah mendengarkan, sesekali menyeringai, ikut tertawa meski entah menertawakan apa. Aku benar-benar merasa tolol saat ini.
Dan ketika lelakiku datang bergabung, aku meneruskan ketololan lainnya. Bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa, dan pembicaraan tadi hanyalah pembicaraan biasa. Meskipun, aku ingin sekali menampar wajahnya atas apa yang ibunya lakukan pada kepalaku. Lalu, ketololan lainnya berlanjut ketika kami meninggalkan rumahnya untuk pergi menghabiskan malam minggu bersama teman-temannya.
"Apa yang ibu bicarakan, sayang?" Pertanyaan yang benar-benar membuatku ingin menamparnya saat itu juga. Tapi, aku hanya tersenyum. Lalu, dengan sikap ceria--tentu ini hanya kubuat-buat saja, aku menceritakannya.
"Masa? Aku nggak percaya ibu melakukan itu... Ibu hanya akan melakukan itu pada anak-anaknya," ujarnya dengan raut kaget. Aku mengendikan bahu, dan menghembuskan nafas sekaligus.
"Entahlah...," ujarku agak bergumam, lalu menatapnya yang tengah menatapku dengan pandangan menyelidik. "Tapi aku tidak bohong, ibu melakukan hal itu pada kepalaku," ujarku lagi. Dia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Tangannya menyentuh kepalaku, dan mengacak rambutku beberapa kali.
"Aku tidak percaya," ujarnya dengan nada yang benar-benar seperti apa yang ia katakan. Tidak percaya.
"Demi Tuhan. Apa itu cukup meyakinkanmu?" Aku menatapnya serius. Dia juga menatapku, kali ini ada sangsi di sorot matanya. "Aku juga kaget ibumu melakukan itu, dan aku tidak menyukainya juga..."
Ada jeda panjang di antara kami. Dia hanya menatapku dengan tatapan menyesal, dan meminta maaf. Meski ia tidak mengucap kata 'maaf' secara langsung. Sementara aku diam, entah harus berbuat apa. Aku ingin menamparnya, namun tamparanku tidak sebanding dengan rasa sayangku padanya. Mungkin, bila aku masih menjadi aku yang dahulu, dan diperlakukan seperti itu oleh ibu dari kekasihku, aku pasti akan meninggalkan kekasihku itu. Namun, kali ini terasa berbeda. Mimpi kecil yang telah kami rajut tentu penyebabnya. Aku pun lelah jika terus meninggalkan orang yang aku cintai, atau ditinggalkan. Aku lelah dengan hal serupa itu. Akan tetapi, hati kecilku tidak setuju jika aku tetap diam dan tidak menyoalkannya.
"Aku....," suaraku seperti tercekat. Dia menatapku. "Aku lapar," ujarku kemudian diiringi senyum yang kupaksakan. Ia tersenyum, tangannya lalu merengkuhku.
"Yuk, kita makan," ujarnya dengan nada seolah merasa lega. Aku mengurai tangannya di bahuku. Dia menatapku dengan heran.
"Kamu...," ujarku sembari menunjuknya. "Kalau kamu yang melakukan itu pada kepalaku, aku akan membunuhmu," rajukku. Ia tertawa. Tangannya kembali ke bahuku lagi.
"Iya, sayang. Aku janji," jawabnya.
0 Comments