Ketika
Sekali itu aku tak melepaskan kayu dalam genggamanku. Berjam, bahkan berminggu, bulan, dan tahun. Aku benar-benar membuatnya sebagai harta karun yang paling berharga. Meski dalam perjalanan waktu itu, aku menemukan keajaiban kayu lain yang lumayan membuatku tercengang pula. Namun, hanya kayu dalam genggamanku itulah yang selalu, bahkan setiap waktu membuatku tercengang. Entah karena ketidakmempanannya terhadap api, hujan, maupun angin, bahkan badai sekali pun. Bahkan, bila Zeus sedang iseng memainkan tongkat halilintarnya dan menembakkan ke kayu dalam genggamanku itu, ia pun sama tercengangnya denganku. Kayu milikku itu tetap merupa seperti sedia kala. Tak ada gores, lecet, atau gugus. Ia tetap kayu yang sama.
Nah, saat ini, kawanku. Kayu milikku itu sedang merupa kapal. Ia menjelma begitu saja ketika suatu pagi aku terbangun. Kapal besar! Kamarku sampai lantak dibuatnya. Saat itu, aku hanya bertanya:
"Mau ke mana kau, kayu-ku?"
"Aku akan berlayar, bosan melulu bersamamu," ucapnya.
Aku tersenyum. Lalu mengusap tubuhnya yang sekarang bidang dan begitu bersinar.
"Nah, sayangku. Kurestui engkau, berlayarlah. Lihatlah dunia yang selama ini belum kita lihat bersama. Barangkali, suatu hari nanti aku dan kau akan bertemu di suatu dermaga kecil, dengan ombak yang beriak lirih, juga angin yang meniupkan kata-kata mesra pada telinga kita."
"Tidak, aku tidak ingin bertemu denganmu lagi," katanya tegas.
"Ya, ya, aku tahu. Namun, tahukah kau, suatu negatif yang keras pada akhirnya akan positif? Tuhan punya rencana terbaik, dan kita lihat saja nanti, apa benar ucapanku tadi, atau tidak. Bila tidak, ingat saja. Tuhan memang punya rencana,"
Ia tidak menatapku, hanya langsung pergi begitu saja.
Ah, kisah yang tidak menyenangkan pada akhirnya. Padahal sebelumnya, selain terus bersama, kami juga sering berbagi cerita. Tertawa, bercanda, bahkan berdiam diri bersama. Aku sedikit sedih sebenarnya, tapi, apalah daya. Mungkin Tuhan punya rencana bagi kami. Meski pun sering kali aku berujar dalam keriangan, bahwa aku dan dia akan menjadi kita pada akhirnya. Setelah kepergiannya, aku sering memimpikannya. Mimpi yang jauh dari kata 'baik'. Aku selalu tersenggal seperti orang berpenyakit asma ketika bangun. Tak jarang, aku terbangun dengan air mata bercucuran tak terhentikan. Padahal, saat itu aku sedang tak ingin sekali menangis. Suatu waktu, aku bermimpi yang paling dahsyat, dan itu membuat jeritan panjangku hingga membangunkan tetangga kamarku.
Ah, tentu saja itu hanyalah mimpi. Bunga tidur yang ada karena keinginan, kerinduan, atau karena faktor tertentu yang kita pikirkan, kita rasakan, atau kita baca sebelum tidur. Namun, kemudian beberapa hari lalu angin mengirimiku kabar, bahwa kayu-ku sekarang sedang berlabuh di dermaga megah yang sangat indah nun jauh di sana. Biasanya ia berlabuh tak terlalu lama, saat itu dia berbulan di sana.
"Syukurlah, syukurlah." Ucapku.
"Syukur? Kau tahu seberapa rindunya kau? Semua tergambar dari wajahmu yang jelek itu," ejek angin padaku.
"Tergambar? Ahahaha... Sebentar aku betulkan," ujarku sembari menggerak-gerakkan mulutku seolah tengah senam wajah. Angin mendengus. "Nah, sekarang sudah tak terlihat, bukan?" sambungku sembari menyeringai lebar.
"Tidak, tapi aku tahu," sekali lagi angin mendengus.
Aku tertawa.
"Nah, angin, sampaikan padanya; selamat, dan berlama-lamalah di sana. Meski pun lambat sekali diriku, aku akan segera sampai di lembah yang sangat indah. Dengan pohon-pohon berdaun arumanis, dan berbuah berlian, emas, dan segala macam permata lainnya, burung dengan warna pelangi bertengger di dahannya dan menyambut kedatanganku, juga sungai dengan riak kecil yang sangat bening hingga aku bisa melihat ikan-ikan bercumbu di dasarnya yang berumput emas, juga..."
"Ah, kau menghayal saja, kura-kura! Lekas berjalan sana!"
0 Comments