Cerpen Tafsir Bebas: Dua Telinga Untuk Suamiku
Benarkah ikan
mas bisa berbicara pada manusia? Rasanya itu mustahil. Hanya burung beo yang
aku tahu bisa berbicara, itu pun biasanya mengulang kata-kata yang diajarkan
oleh si empunya beo. Namun, suamiku mengaku bisa mendengar, dan berbicara
dengan si ikan mas di akuarium kami. Ketidakbiasaan itu bermula ketika ia
terserang sakit panas, dan sembuh setelah meminum ramuan rendaman nasi dicampur
gula buatan mertuaku.
Awalnya aku kira
itu hanya halusinasi dia saja yang terbawa dari sakit panasnya. Namun, ritual
berbincang dengan si ikan mas itu terus saja ia lakoni hingga sekarang. Aku
sering melihatnya duduk-duduk dekat akuarium, berbincang, dan tertawa sendiri.
Setelah kudekati, ia mengaku sedang berbincang dengan si ikan mas.
Hebat? Tapi, tidak masuk akal. Coba saja
pikir, ini bukan jaman Prabu Angling Darma yang katanya bisa mendengar
perbincangan cicak saat ia sedang berbaring bersama Permaisurinya. Lalu, apa
yang terjadi jika aku terus mendesak suamiku untuk mengetahui semua ucapan ikan
itu? Apa aku harus terjun ke dalam api seperti si Permaisuri, karena katanya, ia
terus memaksa Sang Prabu memberitahunya perkataan cicak itu, dan hal itu
melanggar aturan dewa?
Ah! Tentu saja
itu hanya dongeng.
*
* *
Sudah hampir
tiga bulan suamiku berkelakuan seperti itu. Sebelum sakit panas, ia memang di
PHK, dan hingga kini belum mendapat pekerjaan lain, selain duduk-duduk dan
berbincang dengan si ikan itu. Bahkan, menurut laporan pembantuku, Mbok Rah,
suamiku juga ngendika dengan tembelek, alias berbicara dengan
kotoran!
Selain itu, ia
juga mulai meracau bahwa selama ini aku selingkuh dengan bosku. Ia tahu semua
itu dari si ikan, pohon-pohon, rumput, dan juga angin yang mengabarkan.
Sialan!
Setelah
kuceritakan pada rekan sekantorku, Tari, dia malah tertawa terbahak-bahak.
Dengan sangat enteng, ia malah menganjurkanku menggoreng ikan itu saja.
Meskipun dengan nada bercanda, aku rasa dia ada benarnya juga.
Dan akhirnya, malam
itu tanpa pikir panjang atau bahkan mempedulikan perasaan suamiku lagi yang
tampak sudah terlelap, aku bersijingkat mendekati akuarium. Dengan pelan,
kukeluarkan ikan mas itu dari sana, lalu membawanya ke dapur.
Kutatap ikan
yang mulai lemas itu, mulutnya tampak megap-megap tanda ia nyawanya belum
hilang. Kau tentu bukan kembaran ikan mas
dalam cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, kan? Gumamku sembari
meniliknya. Ikan itu megap-megap, dan tidak mengatakan apa-apa. Kuambil pisau
untuk merajahnya, ia tetap tidak berkata ‘ampun’ maupun kata lainnya. Hingga
akhirnya matang pun, ikan itu tetap tampak seperti ikan biasa.
Ah! Suamiku saja
yang gila. Pikirku.
*
* *
Inez! Inez!
Teriakan
seseorang yang memanggil namaku itu membangunkanku. Aku mengerjap-ngerjapkan
mata. Suamiku tampak hilir mudik tak jauh dariku. Pakaiannya tampak lain dari
biasanya, lebih terlihat rapi seperti hendak ke kantor. Mungkin tanpa
sepengetahuanku, suamiku telah mencari pekerjaan baru selain berbincang dengan
ikan masnya. Aha! Tentu saja ia akan melakukannya, toh, ikannya sekarang sudah
menjadi pengisi perutku.
Namun, kenapa
sekelilingku terasa asing, dan tubuhku terasa lain? Duh! Kenapa ini? Aku bahkan
tidak bisa melihat kaki, tangan, dan rambutku yang selalu kuurai. Belum habis keherananku, terdengar suara
perempuan asing di dekatku. Suara yang mengatakan bahwa suamiku itu tampan, dan
betapa beruntungnya perempuan yang menjadi istrinya.
Seekor ikan hias
tampak anggun berada tak jauh dariku. Aku mundur seketika. Ikan? Bisa berbicara? Jadi benar apa yang selama ini diucapkan suamiku?
“Krrk...nyssssttt...blzzzzz...glup..glup..ssszzzttt...”
Ikan itu terus
saja mengajak bicara. Ia mengatakan bahwa ia baru kemarin dipindahkan ke sini
oleh lelaki yang hilir mudik itu, suamiku. Dan berbagai hal lain. Termasuk,
cerita seorang istri yang mengambil ikan mas kesayangan suaminya, lalu
memasaknya di dapur. Hingga akhirnya ia dikutuk menjadi pengganti ikan mas yang
telah mati itu.
Gusti!
Aku meratap
seketika. Kupanggil suamiku yang masih hilir mudik mencari sesuatu. Mas, aku di sini, mas! Ratapku. Namun,
suamiku tetap acuh, bahkan kini ia berjalan memasuki kamar Tri, anak kami, yang
terdengar menangis.
“Krrk...nyssssttt...blzzzzz...glup..glup..ssszzzttt...”
Ia tidak mendengar? Tidak bisa mendengar suaraku,
dan berbicara denganku?
Aku terus
meratap. Baru kali ini aku sangat mengharap ketidakwarasan suamiku itu. Baru
kali ini aku sangat berharap ia bisa berbicara dengan ikan. Denganku! *
*** Tafsir bebas dari cerpen Dua Telinga Saya, Rasanya Cukup, Yanusa Nugroho. Tugas Mata Kuliah Menulis Kreatif. Dosen: Ade Khusnul. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2011.
0 Comments