Pengumuman Nomine Sayembara Menulis Cerpen UKM Belistra FKIP Untirta 2012
* Catatan Dewan Juri
Kami menerima 220 cerpen. Sebagian besar cerpen tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Bahasa Indonesia sebagai media penulisan sastra belum sepenuhnya didayagunakan. Di sana-sini masih kami temukan kesalahan penulisan ejaan, pemilihan kata, logika kalimat, hingga struktur kalimat yang kendor dan berbelit-belit. Masalah ini tentu saja masalah yang bisa diatasi oleh mereka yang telah paham tata bahasa, dan lebih dari itu, mereka yang percaya bahwa bahasa Indonesia bisa menjadi media terbaik untuk penulisan sastra.
Tetapi itu barulah separuh kebenaran. Separuhnya lagi adalah keterampilan menulis sastra itu sendiri. Keterampilan ini mungkin dipengaruhi oleh bakat, tetapi kami lebih yakin lagi bahwa semua ini dipengaruhi oleh disiplin membaca dan kemampuan memperluas wawasan kesusastraan. Tentu saja Indonesia adalah sumber yang melimpah untuk penulisan sastra, sebagaimana negeri-negeri lain yang tak kalah menggoda. Tetapi itu hanya berguna bagi mereka yang benar-benar paham dan mengetahui bagaimana mengolah kekayaan sumber daya itu.
Kedua keterampilan ini pada akhirnya mesti dikuasai oleh para penulis sastra kita. Sebab jika tidak, mereka hanya akan mengandalkan bakat alam yang pada akhirnya akan aus dan habis karena dieksploitasi terus-menerus tanpa mencari cadangan pengetahuan atau wawasan di luar dirinya. Memang, kami rasakan betapa kuatnya hasrat untuk mengandalkan bakat alam semata. Tindakan ini sama dengan mengambil begitu saja bahan cerita dari sumber ciptaan tanpa melakukan pencanggihan atau mengerjakan keterampilan untuk bahan tersebut.
Banyak kami jumpai, misalnya, penulis yang mencoba menulis cerita horor dan melodrama dari kehidupan kita sehari-hari. Tetapi mereka kerap kali tidak bisa mengontrol bentuk yang sudah mereka pilih, sehingga bentuk itu berkembang tanpa kendali dan menjadikan cerita yang jauh dari harapan. Jika tokohnya tidak realistis, lantaran hanya menjadi corong si pengarang, pasti dunia rekaan itu dijejali dengan aneka keajaiban peristiwa tanpa mampu mendudukan keajaiban itu pada tempat yang wajar.
Banyak pula cerpen yang mengambil latar dan tokoh yang unik. Misalnya, ada tokoh yang bertenaga kinestetik dan mengidap skizofernia. Sementara di cerpen lain ada kyai yang bertemu Nabi Khidir, di samping tokoh yang berupa dinding dan api. Yang sureal dan absurd memang banyak digarap dalam lomba ini. Seakan-akan si pengarang percaya bahwa Indonesia adalah lahan subur surealisme dan absurditas, yang berbeda dari jenis yang digarap para pengarang di Eropa pada dasawarsa awal abad ke-20. Sayangnya, keganjilan atau keajaiban yang sudah dipilih ini tidak dirawat dengan telaten, dengan kepiawaian yang membuat pembaca menerimanya. Cacat-cacat pengisahan ini akhirnya membuat cerita tersebut “batal demi hukum” dan hanya jatuh pada keanehan dan keganjilan yang dibuat-buat.
Sebagian besar cerita juga masih berupa kerangka cerita yang lebih panjang. Sang pengarang hanya memadatkan struktur yang mestinya bisa diurai lebih luas dan panjang lagi demi mendapatkan cerita yang rinci dan masuk akal. Di sana-sini banyak plot yang renggang dengan kisah yang terjebak pada stereotipe dan kisah romansa remaja.
Kelemahan-kelemahan ini bisa diatasi dan kami berharap masih ada peluang untuk memperbaikinya. Tetapi, bukanlah tugas perlombaan ini untuk memperbaiki mereka. Mungkin perbaikan ini bisa dilakukan pada sebuah lokakarya atau workshop dalam jangka waktu tertentu. Sebab sejatinya, sebuah perlombaan hanya menerima karya yang sudah dianggap selesai dan penjurian bukanlah forum untuk membereskan ketidaksempurnaan sebuah karya. Yang bisa dilakukan oleh proses penjurian adalah memberikan catatan kritis atas hasil karya yang masuk, dengan harapan catatan itu menjadi bahan pertimbangan si pengarang. Tetapi itu tidak wajib hukumnya, semuanya kembali kepada si pengarang: Apakah ia akan menjadikan catatan penjurian sebagai cermin yang merefleksikan keterampilannya dalam menulis sastra ataukah itu hanya sebentuk seruan tukang obat pinggir jalan.
Di antara banyaknya masalah yang merundung penulisan cerpen peserta lomba, kami menemukan satu-dua penulis yang cukup berbakat. Memang bahasa Indonesia yang mereka gunakan belumlah sempurna, tetapi tampak dari cerita itu potensi yang besar, yang jika dengan ketekukan akan terlihat hasilnya di masa datang. Kami juga menemukan cerpen-cerpen yang cukup kuat untuk menjadi cerita dan bisa membetahkan kami dalam menjuri mereka. *)
Dengan berbagai pertimbangan di atas, kami akhirnya mengambil keputusan sebagai berikut (urutan sesuai abjad):
1. A’yat Khalili ♦ “Nemorkara” (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Madura)
2. Ai El Afif ♦ “Masappa Tappa” (Universitas Muhammadiyah Malang)
3. Ari Mami ♦ “Manusia Sayap ke-222” (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
4. Ashari Ratnasari ♦ “Waktu untuk Menerima” (Universitas Airlangga Surabaya)
5. Gilang Satria Perdana ♦ “Khafilah Kanaan” (Universitas Indonesia Depok)
6. Hana Eka Ferayyana ♦ “Senja yang Terluka” (Universitas Diponegoro Semarang)
7. Ilham Mahendra ♦ “Balonku Ada Lima” (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)
8. Ismailia Jenie ♦ “Barongsai” (Universitas Padjadjaran Bandung)
9. Larno ♦ “Panggil Aku Gemblak” (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
10. Lelita Primadani ♦ “The Owl Promise” (Universitas Diponegoro Semarang)
11. Mawaidi D Mas ♦ “Angin Kematian” (Universitas Negeri Yogyakarta)
12. Mirani Dyah Claresti ♦ “Pada Pinggang Bajumu” (Politeknik Manufaktur Negeri Bandung)
13. Nafi Nayka ♦ “Bon Blangtelon” (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
14. Nurul Maria Sisilia ♦ “Kucing-kucing dalam Karung” (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)
15. Rahmadyah Kusuma Putri ♦ “Beli Mimpi” (Universitas Negeri Medan)
16. Royyan Juliani ♦ “Perjamuan Sunyi” (Universitas Negeri Malang)
17. Salimun Abenanza ♦ “Seikat Benang” (Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN Yogyakarta)
18. Septantya Chandra Pamungkas ♦ “Denting yang Meninggalkan Gelas-gelas Sirup pada Suatu Malam ketika Mereka Terbunuh” (Universitas Brawijaya Malang)
19. Sulfiza Ariska ♦ "Sarkovagus” (Universitas Terbuka, Yogyakarta)
20. Teguh Afandi ♦ “Dari Tenggara Juana” (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
Ditetapkan di Jakarta, 09 Oktober 2012
Dewan Juri
Nenden Lilis Aisyah
Raudal Tanjung Banua
Zen Hae
*) Keterangan: Catatan dewan juri ini tidak kami (panitia) tayangkan secara utuh. Untuk informasi pengumuman pemenang, 20 nomine akan dihubungi langsung oleh panitia baik lewat e-mail maupun telepon.
Sumber: http://ukmbelistra.blogspot.com/2012/10/pengumuman-nomine-sayembara-menulis.html
Kami menerima 220 cerpen. Sebagian besar cerpen tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Bahasa Indonesia sebagai media penulisan sastra belum sepenuhnya didayagunakan. Di sana-sini masih kami temukan kesalahan penulisan ejaan, pemilihan kata, logika kalimat, hingga struktur kalimat yang kendor dan berbelit-belit. Masalah ini tentu saja masalah yang bisa diatasi oleh mereka yang telah paham tata bahasa, dan lebih dari itu, mereka yang percaya bahwa bahasa Indonesia bisa menjadi media terbaik untuk penulisan sastra.
Tetapi itu barulah separuh kebenaran. Separuhnya lagi adalah keterampilan menulis sastra itu sendiri. Keterampilan ini mungkin dipengaruhi oleh bakat, tetapi kami lebih yakin lagi bahwa semua ini dipengaruhi oleh disiplin membaca dan kemampuan memperluas wawasan kesusastraan. Tentu saja Indonesia adalah sumber yang melimpah untuk penulisan sastra, sebagaimana negeri-negeri lain yang tak kalah menggoda. Tetapi itu hanya berguna bagi mereka yang benar-benar paham dan mengetahui bagaimana mengolah kekayaan sumber daya itu.
Kedua keterampilan ini pada akhirnya mesti dikuasai oleh para penulis sastra kita. Sebab jika tidak, mereka hanya akan mengandalkan bakat alam yang pada akhirnya akan aus dan habis karena dieksploitasi terus-menerus tanpa mencari cadangan pengetahuan atau wawasan di luar dirinya. Memang, kami rasakan betapa kuatnya hasrat untuk mengandalkan bakat alam semata. Tindakan ini sama dengan mengambil begitu saja bahan cerita dari sumber ciptaan tanpa melakukan pencanggihan atau mengerjakan keterampilan untuk bahan tersebut.
Banyak kami jumpai, misalnya, penulis yang mencoba menulis cerita horor dan melodrama dari kehidupan kita sehari-hari. Tetapi mereka kerap kali tidak bisa mengontrol bentuk yang sudah mereka pilih, sehingga bentuk itu berkembang tanpa kendali dan menjadikan cerita yang jauh dari harapan. Jika tokohnya tidak realistis, lantaran hanya menjadi corong si pengarang, pasti dunia rekaan itu dijejali dengan aneka keajaiban peristiwa tanpa mampu mendudukan keajaiban itu pada tempat yang wajar.
Banyak pula cerpen yang mengambil latar dan tokoh yang unik. Misalnya, ada tokoh yang bertenaga kinestetik dan mengidap skizofernia. Sementara di cerpen lain ada kyai yang bertemu Nabi Khidir, di samping tokoh yang berupa dinding dan api. Yang sureal dan absurd memang banyak digarap dalam lomba ini. Seakan-akan si pengarang percaya bahwa Indonesia adalah lahan subur surealisme dan absurditas, yang berbeda dari jenis yang digarap para pengarang di Eropa pada dasawarsa awal abad ke-20. Sayangnya, keganjilan atau keajaiban yang sudah dipilih ini tidak dirawat dengan telaten, dengan kepiawaian yang membuat pembaca menerimanya. Cacat-cacat pengisahan ini akhirnya membuat cerita tersebut “batal demi hukum” dan hanya jatuh pada keanehan dan keganjilan yang dibuat-buat.
Sebagian besar cerita juga masih berupa kerangka cerita yang lebih panjang. Sang pengarang hanya memadatkan struktur yang mestinya bisa diurai lebih luas dan panjang lagi demi mendapatkan cerita yang rinci dan masuk akal. Di sana-sini banyak plot yang renggang dengan kisah yang terjebak pada stereotipe dan kisah romansa remaja.
Kelemahan-kelemahan ini bisa diatasi dan kami berharap masih ada peluang untuk memperbaikinya. Tetapi, bukanlah tugas perlombaan ini untuk memperbaiki mereka. Mungkin perbaikan ini bisa dilakukan pada sebuah lokakarya atau workshop dalam jangka waktu tertentu. Sebab sejatinya, sebuah perlombaan hanya menerima karya yang sudah dianggap selesai dan penjurian bukanlah forum untuk membereskan ketidaksempurnaan sebuah karya. Yang bisa dilakukan oleh proses penjurian adalah memberikan catatan kritis atas hasil karya yang masuk, dengan harapan catatan itu menjadi bahan pertimbangan si pengarang. Tetapi itu tidak wajib hukumnya, semuanya kembali kepada si pengarang: Apakah ia akan menjadikan catatan penjurian sebagai cermin yang merefleksikan keterampilannya dalam menulis sastra ataukah itu hanya sebentuk seruan tukang obat pinggir jalan.
Di antara banyaknya masalah yang merundung penulisan cerpen peserta lomba, kami menemukan satu-dua penulis yang cukup berbakat. Memang bahasa Indonesia yang mereka gunakan belumlah sempurna, tetapi tampak dari cerita itu potensi yang besar, yang jika dengan ketekukan akan terlihat hasilnya di masa datang. Kami juga menemukan cerpen-cerpen yang cukup kuat untuk menjadi cerita dan bisa membetahkan kami dalam menjuri mereka. *)
Dengan berbagai pertimbangan di atas, kami akhirnya mengambil keputusan sebagai berikut (urutan sesuai abjad):
1. A’yat Khalili ♦ “Nemorkara” (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Madura)
2. Ai El Afif ♦ “Masappa Tappa” (Universitas Muhammadiyah Malang)
3. Ari Mami ♦ “Manusia Sayap ke-222” (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
4. Ashari Ratnasari ♦ “Waktu untuk Menerima” (Universitas Airlangga Surabaya)
5. Gilang Satria Perdana ♦ “Khafilah Kanaan” (Universitas Indonesia Depok)
6. Hana Eka Ferayyana ♦ “Senja yang Terluka” (Universitas Diponegoro Semarang)
7. Ilham Mahendra ♦ “Balonku Ada Lima” (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)
8. Ismailia Jenie ♦ “Barongsai” (Universitas Padjadjaran Bandung)
9. Larno ♦ “Panggil Aku Gemblak” (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
10. Lelita Primadani ♦ “The Owl Promise” (Universitas Diponegoro Semarang)
11. Mawaidi D Mas ♦ “Angin Kematian” (Universitas Negeri Yogyakarta)
12. Mirani Dyah Claresti ♦ “Pada Pinggang Bajumu” (Politeknik Manufaktur Negeri Bandung)
13. Nafi Nayka ♦ “Bon Blangtelon” (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
14. Nurul Maria Sisilia ♦ “Kucing-kucing dalam Karung” (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)
15. Rahmadyah Kusuma Putri ♦ “Beli Mimpi” (Universitas Negeri Medan)
16. Royyan Juliani ♦ “Perjamuan Sunyi” (Universitas Negeri Malang)
17. Salimun Abenanza ♦ “Seikat Benang” (Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN Yogyakarta)
18. Septantya Chandra Pamungkas ♦ “Denting yang Meninggalkan Gelas-gelas Sirup pada Suatu Malam ketika Mereka Terbunuh” (Universitas Brawijaya Malang)
19. Sulfiza Ariska ♦ "Sarkovagus” (Universitas Terbuka, Yogyakarta)
20. Teguh Afandi ♦ “Dari Tenggara Juana” (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
Ditetapkan di Jakarta, 09 Oktober 2012
Dewan Juri
Nenden Lilis Aisyah
Raudal Tanjung Banua
Zen Hae
*) Keterangan: Catatan dewan juri ini tidak kami (panitia) tayangkan secara utuh. Untuk informasi pengumuman pemenang, 20 nomine akan dihubungi langsung oleh panitia baik lewat e-mail maupun telepon.
Sumber: http://ukmbelistra.blogspot.com/2012/10/pengumuman-nomine-sayembara-menulis.html
0 Comments