Tersenyum Dalam Luka
Tontonan langit saat senja baru saja usai. Aku masih duduk diam di atas balkon kontrakanku. Tak hirau apa pun. Bahkan secangkir kopi yang semenjak tadi menemaniku pun ku biarkan saja mendingin. Mataku kosong menatap gelap dengan tangan memeluk lutut. Dari sudut mataku terasa ada air yang menganak di kedua pipiku. Aku tak tahu apakah air itu masih bening atau telah berubah merah karena hatiku terasa berdarah.
“Sepi itu teman kamu, Sya. Ayolah bangun! kamu pasti bisa hidup sendiri, biasanya juga bisa, kan?” rintihku.
Hari ini tepat tanggal 5 Agustus. Kembali aku mengucapkan kata yang sama setelah sekian lama aku tidak mengucapkannya. Tepatnya sejak sebulan lalu tatkala bang Davi tiba-tiba mengunjungiku, dan membawa kabar tentang Randy yang membuat seluruh ragaku berubah warna.
Adalah Rendy, seorang lelaki yang sangat aku banggakan, yang membuatku seperti saat ini. Ia kekasihku. Ah, patutkah aku menyebutnya kekasih? Bila ternyata ia telah menorehkan luka pada seluruh bagian tubuhku, hingga luka itu terasa menembus tulangku?
Air mata terus mengalir dari bibir sumur mataku. Namun tak menghalangi ingatanku pada saat ketika pertama kali bang Davi mengunjungiku, tepatnya tanggal 5 Juli lalu pada suasana sore seperti saat ini. Tidak biasa, itulah tanggapanku ketika kulihat Honda Civic abu-abu miliknya memasuki pelataran rumah kontrakanku. Ia turun dari mobilnya dengan pakaian yang tidak biasa pula, baju batik coklat dipadu celana katun hitam terlihat sangat pantas di tubuh jangkungnya. Kunjungannya ke kontrakanku pun tidak biasa, mengingat selama ini aku hanya mengenalnya di tempat biasa Rendy dan teman-temannya menghabiskan waktu bersama. Walau sudah dekat, namun ia belum pernah sekalipun mampir ke kontrakanku ini.
“Hallo, bang! Apa kabar?” sambutku.
Bang Davi tersenyum.
“Emh, baik. Oh, ya, bisa ngobrol bentar, Sya? Kamu libur kerja, kan?” ujar bang Davi dengan raut setengah dipaksakan.
Aku mencoba tersenyum untuk mengalihkan perasaan tak enak yang tiba-tiba saja menggantung di ulu hatiku. “Tentu saja boleh, bang? Kebetulan lagi suntuk juga, nih! Yuk, ikut ke atas,” ajakku.
Tanpa menjawab bang Davi mengikutiku, dan balkon inilah yang menjadi tempat pilihanku.
“Jangan repot-repot, Sya! Keluarin aja yang ada,” seloroh bang Davi ketika aku sibuk mengambilkannya minuman.
Aku tertawa saja saat itu, tapi tetap saja perasaan tak enak itu masih ada dalam benakku. Ada apa? Pertanyaan itu pun terus menguntitku.
“Dari mana, bang? Tumben banget rapi? Emang ga’ kerja hari ini?” tanyaku sambil meletakan gelas berisi air putih di meja. Bang Davi tertawa mendengar pertanyaanku yang bertubi-tubi itu. Aku pun tertawa.
“Udah mirip wartawan, ya?” komentar bang Davi sesaat setelah tawanya reda. Aku diam, bang Davi pun diam. Aku merasa suasana saat itu benar-benar tidak enak, walaupun bang Davi mencoba membuat suasananya seperti biasa.
“Oh, iya, bang. Aku mau tanya boleh ngga?” tanyaku.
Bang Davi terlihat menganggukan kepala.
“Bang Rendy pindah tugas, ya? Kok, akhir-akhir ini sulit banget di hubungi?” tanyaku. Bang Davi menatapku dengan tatapan yang sulit kutebak maknanya. Tiba-tiba tangannya terjulur ke arah kepalaku. Di elusnya rambut sebahuku itu, aku diam sambil menatap wajahnya.
Aku dan Rendy berkenalan di sebuah seminar yang diadakan PWI di Anyer, lima bulan lalu. Kedekatan yang benar-benar dekat, atau istilah kerennya sih cinta pada pandangan pertama. Kami memutuskan untuk berpacaran saat itu juga. Dan akhir-akhir ini dia susah untuk dihubungi, aku mengerti, pekerjaannya sebagai redaktur salah satu koran nasional pasti telah menyita waktunya. Tapi, apakah wajar jika ponselnya juga selalu tidak aktif?
“Emh, ada kok, ini aku baru nemuin dia. Tapi…….” Bang Davi tidak meneruskan ucapannya. Aku menunggu kelanjutan ucapannya dengan perasaan tak menentu. “Sya, kamu ingat kata-kataku dua minggu yang lalu di café Fun? Aku berkata seperti ini; jangan pernah lari dari takdir, walau apapun yang menimpa hidupmu. Hadapi saja dengan senyuman termanis yang kamu punya,” sambungnya. Aku semakin tidak mengerti maksud ucapannya itu, rasa penasaran pun semakin besar saja. Namun aku terus mencoba diam, untuk mencerna semua ucapannya.
“Mungkin takdir itu saat ini mengarah pada kamu, tapi tenang saja jalan kamu masih panjang, Sya! Kamu masih punya banyak waktu untuk menemukan hari dan hati yang akan membuatmu selalu tersenyum,” bang Davi diam sejenak. Ia terlihat menelan ludah. Aku masih diam, tapi aku tahu sesuatu yang sedari tadi kurasakan tak enak itu adalah hal yang belum kuketahui.
“Rendy itu sosok lelaki yang baik, namun di luaran sana masih ada lagi Rendy yang lain yang jauh lebih baik dari Rendy yang kamu kenal saat ini….”
“Langsung ke pokok permasalahannya aja, bang!” potongku dengan sedikit keras. Terus terang aku pun kaget dengan ucapanku itu.
“Rendy, dia…. Dia akan menikah bulan depan, aku, aku baru saja menghadiri acara pertunangannya,” ujar bang Davi setengah bergumam.
Aku langsung menutup mata, tanpa sadar aku menjambak rambukku sendiri. Tubuhku terasa lemas. Ini jawaban perasaan tak enakku? Inikah? erang bathinku. Bang Davi meremas pundakku dan untuk pertama kalinya aku menangis di hadapannya. Bang Davi memelukku tanpa bersuara, hanya hembusan nafas beratnya saja yang terdengar.
“Kenapa? Kenapa dia tidak memberi tahu langsung? Kenapa dia langsung pergi? Kenapa, kenapa?” erangku di sela isak.
Pertanyaan itulah yang sampai detik ini menggantung di dinding hatiku. Sebentar lagi bang Davi menjemputku untuk pergi ke resepsi pernikahan Rendy. Aku belum menemukan jawabannya. Aku memang sedikit memaksa bang Davi agar ia mau mengajakku ke resepsi itu, karena sebenarnya aku memang tidak diundang.
“Salsya? Kamu di sini?” sebuah suara milik bang Davi tiba-tiba terdengar di belakangku. Bersamaan dengan suara langkah yang mendekat, kusapu air mata di pipi yang terasa mulai tirus ini. Bang Davi langsung menghadiahiku belaian pada rambut kusut yang tak lagi mengenal sisir itu, air mataku kembali luruh. Tangan kekarnya terus mengelus kepalaku dengan lembut. Tak ada suara lain selain isakku.
“Lebih baik, kamu jangan ikut aku, ya?” bang Davi kembali melarangku untuk tidak ikut dengannya, ketika aku sudah mulai tenang. Kutepis tangannya yang masih mengelus kepalaku.
“Tidak! Aku harus ikut, kalau memang abang tidak mau melihatku sedih, biarkan aku ikut!” ujarku sinis.
“Tapi, sya, badan kamu itu butuh istirahat! Lihat lingkaran hitam di mata kamu itu, kamu pasti selalu begadang. Lihat, betapa kurusnya badan kamu!” ujar bang Davi memberi alasan.
“Tidak, pokoknya aku harus ikut! Aku ingin tahu reaksi dia bila melihatku di sana. Aku ingin dia tahu, betapa sakitnya aku karena dia! Aku ingin menghukum dia dengan kedatanganku, aku ingin…….”
Aku tak kuasa berkata lagi, karena dadaku begitu sesak menahan isak. Bang Davi memelukku, tangan kekarnya lalu membantuku bangun, dan menuntunku ke arah kamar tidur.
“Gaun kamu di mana?”tanya bang Davi setelah kami sampai di kamar. Aku menunjuk lemari berpintu tiga. Beberapa kali bang Davi menunjukan gaun pestaku. Namun aku menggeleng, dan tepat pada gaun kelima aku baru mengangguk. Gaun berwarna hitam pemberian Rendy, itulah yang aku pilih. Tak lama kemudian, kami pun keluar.
“Kita ke salon dulu, ya? Biar wajah kamu tidak pucat seperti ini,” ujar bang Davi sambil menancap gas. Aku tahu perasaan bang Davi pasti tidak enak, karena telah mengijinkanku pergi. Tapi, aku benar-benar ingin tahu reaksi Randy saat melihat kedatanganku.
“Sya? Yuk!” ajak bang Davi sambil membuka pintu mobil. Aku tak ingat kapan bang Davi memarkir mobilnya di depan Dev’ Salon.
“Tunggu sebentar,” ujar bang Davi setelah kami masuk ke salon itu. Ia lalu pergi menghampiri seorang wanita dengan rompi hitam di atas kemeja putihnya itu. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas setelah bercakap-cakap dengan bang Davi wanita itu menghampiriku lalu membawaku ke sebuah ruangan yang penuh peralatan rias. Beberapa menit kemudian aku pun dibawanya kembali ke ruang tunggu, di mana bang Davi menungguku.
“Seperti ini, kan?” ujar wanita itu sambil tersenyum. Bang Davi mengangguk, lalu setelah mengucapkan terimakasih kepada wanita itu kami pun pergi.
“Senyum dong! Biar kamu tambah cantik,” ujar bang Davi di setengah perjalanan kami. Aku mencoba tersenyum untuk menyenangkan bang Davi. Dan ia meremas jemariku ketika kami sampai di gedung tempat resepsi berlangsung.
“Bang, aku harus bagaimana?” tanyaku setengah berbisik.
“Senyum, tersenyumlah,” jawab bang Davi setengah berbisik pula.
Kedatangan kami disambut tatapan mata seluruh tamu. Bahkan di beberapa sudut terdengar bisik-bisik tidak jelas. Aku tahu mereka membicarakanku. Aku tahu mereka itu adalah orang-orang yang tahu bagaimana hubunganku dengan Rendy. Mungkin ada di antara mereka yang tengah mengasihaniku.
Bang Davi langsung menggandengku menuju tempat di mana kedua mempelai berada, diiringi tatap ratusan tamu.
Adalah di sana, di atas pelaminan Rendy berada dan bersanding dengan wanita yang kini telah memilikinya. Ia terlihat begitu tampan dengan balutan jas hitam bertahtakan sejumput kembang didada kirinya, sedangkan pengantin wanita terlihat anggun memakai gaun putih dengan hiasan manik-manik menyerupai mutiara di sekujur tubuhnya, dan mahkota kecil yang bertengger manis di atas kepalanya. Seharusnya yang memakai gaun itu, aku! jerit bathinku. Bang Davi meremas tanganku yang dingin. Aku menatapnya sejenak. Ia mengangguk untuk meyakinkanku. Randy sepertinya tidak melihat kedatangan kami, ia terlihat tengah bercanda dengan pasangannya. Akh! Ada larva panas menjalar ke jantungku yang koyak. pedih!
“Hai, Bro! Selamat, ya!” terdengar bang Davi menyapa Rendy yang masih belum sadar atas keberadaan kami.
“Oooow! Haiii, Dav! Akhirnya tamu agung datang juga, sama sia….”
Rendy tak kuasa meneruskan kata-katanya tatkala matanya menubruk sosokku. Tawa bahagianya seketika hilang. Rautnya seketika memucat, jelas kulihat Rendy terkejut melihat kedatangan kami. Mulutnya terlihat komat-kamit hendak mengucap kata, tapi tak satupun kata itu keluar dari kerongkongannya. Berkali-kali kulihat ia menelan ludah, bintik-bintik keringat jelas di dahinya. Padahal ruangan saat itu terasa dingin olehku, bahkan suasananya pun terasa dingin. Dari sorot matanya aku tahu ia hendak mengucap maaf, maaf untuk apa? Terlambat! Tak kau lihatkah tubuhku yang compang-camping akibat luka yang kamu torehkan?
Aku tersenyum semanis biasa saat bersalaman dengannya. Seperti senyuman yang kuberikan saat aku menjawab ‘ya’ atas ungkapan cintanya. Dan kini, senyuman itu pun aku berikan padanya walau camping hatiku olehnya.
“Terimakasih atas semuanya. Semoga kebahagiaan selalu menyertai harimu,” bisikku dengan nada sedikit gemetar sambil mencium pipinya. Aku tersenyum dalam gelap yang tiba-tiba menyentuh jarak pandangku. Aku tersenyum dengan air dari sumur mataku yang membuncah tanpa mampu aku cegah. Aku tersenyum, gelap, dan roboh. (*)
*Harian Umum Radar Banten: cerpen pertama yang nangkring di sana. :D*
http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=18222
0 Comments