Tiga Puisi di Hari Puisi Indopos
Secangkir Kopi
i/
kita bertemu di secangkir kopi
pada suatu senja yang mayang. daun trembesi
di atas kita bergoyang pelan. saat itu,
bibir kita berpagut di sisi cangkir yang sama
--konon, ribuan kunang-kunang lahir
dan menghabiskan tujuh hari kehidupannya
untuk mencari kekasih--sementara kita berpikir
lebih baik masyuk dalam cerita apa saja
ii/
kita berpisah ketika malam berangkat menuju pagi
udara yang menusuk rupanya tak cukup tancap
di tulang rusuk--lihatlah, langit cemberut melihat
seorang pemudi digendong kekasihnya menuju
losmen di samping rel kereta--lantas, orang
macam kita bisa apa? selain mengucap 'aku pulang'
pada dinding kamar dan sepi selalu menjadi teman
setia setelah berbagai perjumpaan.
(Serang, 2013)
Ini Sajak Khusus Untukmu
: Fajarwati Putri Dewi
non,
sajak ini kutulis ketika malam jatuh di meja
kantin belakang. segelas kopi yang hampir tandas
dan lagu cinta yang dinyanyikan angin
menjadi candu tak nyata. sementara rindu
belum cukup usia untuk menjadi tanda
duh! non,
sajak ini kutulis saat jarum jam tumbuh
di kematangan petang. bau pandan dan harum
bunga menguar di udara. tapi tak lekas
kutinggalkan meja. kau tahu bukan?
ada yang lebih menarik di depan mata
aih! non,
ini sajak kutulis tepat di matanya
lagu cinta di telinga menambah pacu
detak jantung. kuhitung; selirik senyum,
padu tatap, kepergian dan kedatangan,
dengan satu tanya di kepala
ini sajak sesungguhnya untuk siapa?
non,
sejujurnya, sajak ini kutulis khusus untukmu
sebagai manik-manik pelengkap kalung usiamu
harap telah banyak merayap menujumu, tentu
barangkali tak apa bila harapku lanjur henti di matanya
aih! kurasa tak harus diucap lantang
cukup kau tahu, ini sajak khusus untukmu
(Serang, 2013)
Jalan Pulang
kapan kamu pulang, nak?
demikian bapak selalu bertanya di telepon
suaranya yang timbul-tenggelam, membuat
dongeng lutung kasarung khatam kembali di kepala
sementara itu, nasi liwet, sambal goang, asin peda,
dan jengkol mengajakku menari di perut yang melulu ribut
ingin kujawab, hari ini, pa.
--sampaikan pada ibu, tolong buatkan tuak laja
untuk batuk dan pilekku.
tapi langit selalu saja memberi tanda, bila
hujan berwajah masam akan segera tiba
dan membawa ingatanku pada kerbau-kerbau
yang meliang di jalan dan buaya mengintip
di kolong-kolong rumah. lalu, bagaimana aku harus melewatinya?
buaya tak serupa lelaki bengal yang kutolak
saat mengajak naik ranjang. ia predator lapar,
bukan pengantin!
akhirnya, kujawab saja; segera, pa.
--sampaikan pada ibu, tolong beli krim pemutih
wajah sebanyak butir padi hasil sawah kita
akan segera kulaksanakan upacara menangkap capung
dengan mantra yang diajari bapa, atau memanggil
kupu-kupu yang hinggap di kembang jambu, agar
membawaku ke kembang sepatu di halaman rumah kita
dan akan kupoleskan krim pemberian ibu pada jalan itu!
(Serang, 2013)
*pengantin; merujuk pada dongeng buaya yang diceritakan
masyarakat di tepi sungai Ciliman dan Cibuluheun.
0 Comments