Elusan di Kepala
Di kanan jalan, kulihat pedagang kaki lima
mendorong lapaknya menuju Pasar Royal tempat biasa mereka mangkal, kulihat pula
pengemis buta yang dituntun seorang perempuan seusianya—barangkali istrinya—ibu
jarinya tak pernah berhenti menghatur dzikir. Saat ini, tubuhku dan tubuhmu
masih mencipta jarak. Sejengkal? Entahlah. Hanya saja, suhu tubuhku yang tak
karuan membuatku merasa harus segera bersandar padamu.
“A boleh meluk sebentar, ya,” ucapku meminta ijinmu. Kamu
tertawa sembari menganggukan kepala.
“Kamu kenapa?” Tanyamu.
“Nggak tahu, tiba-tiba ngerasa nggak enak badan,” jawabku
sembari menyandarkan kepala di pundakmu. Kupejamkan mata. Seketika aku merasa
bumi sangat cepat berputar. Pepohonan di pinggir jalan berlarian ke belakang,
orang-orang, dan segala hal di pinggir jalan itu. Meski kamu tidak melajukan
kendaraan secepat itu. Namun, elusan di kepalaku membuat segalanya kembali ke
semula. Tanpa kubuka mata, tanganku mencari tangan yang hinggap di kepalaku.
Setelah tertangkap, barulah kubuka mata. Kulihat, jemarimu di depan wajahku,
sementara tangan satu menyetir motor.
“Ooh,” gumamku sembari menaruhnya kembali ke kepalaku. Lalu
memejamkan mata kembali, sembari meletakan kepala di punggungmu. Kudengar kamu
tertawa. Entah maksudnya apa.
0 Comments