Lima Bintang Besar di Langit
Barangkali tak ada bintang paling besar yang pernah kulihat selain lima bintang di langit malam itu. Malam di mana kamu melontarkan kekata yang menyakiti telingaku, andai aku bisa mendengarnya. Di ruang keluarga rumahku, tubuhmu bergetar, api berlompatan dari mata cokelatmu. Aku merasa tidak harus bertanya, kenapa kamu bisa berada di rumahku. Meski sejujurnya aku ingin sekali bertanya, dari mana kamu tahu rumahku.
Saat itu, udara kematian menyeruak di
penciumanku--penciumanmu. Dari celah pintu, kulihat bapa berbaring di ranjang,
sementara di samping ranjang kulihat mamah dengan bening air matanya. Aku
merasa harus menyesal, andai aku lebih sering menghabiskan waktu bersama
mereka. Andai mereka tidak mengirimku jauh dari rumah. Andai. Kuputar
pandanganku ke televisi layar datar di dekat rak tempat segala arsip bapa.
Kulihat seorang pembaca berita berambut pendek sedang menunaikan tugasnya.
Tahukah kamu, aku pernah bercita-cita seperti dirinya.
Kemudian, mataku kembali padamu yang masih
bergetar. Segera aku mendekat.
"Kenapa kamu marah?" Tanyaku sembari
menyentuhkan kedua telapak tangan di dadamu. "Baiknya kamu marah di luar
saja, yuk," ajakku. Kamu sedikit menahan tubuhmu, meski tak sekuat tenaga,
sehingga aku masih bisa menarikmu menuju halaman.
Udara malam terasa hangat di kulitku. Sementara
kulitmu di tanganku terasa lebih panas dari biasanya. Dadaku terus bertanya,
kamu sebenarnya kenapa? Marah karena apa? Apa kesalahan yang telah kuperbuat?
Meski semuanya tak kuucapkan. Sebab, aku merasa sangat mengenalmu; api yang
membutuhkan air, bukan angin sebagaimana unsurku.
Sementara kamu meneruskan semburkan api dari
mulut, mataku berkelana ke angkasa. Kulihat langit teramat cerah. Galaksi Bima
Sakti tampak nyata di mata. Tapi ketika kuputar pandangan tepat ke atas kita,
seketika mataku terbeliak takjub. Ada lima bintang paling besar yang
mengelilingi kita. Lima bintang. Segera kusentuh lenganmu, dan menggoyangkannya
beberapa kali.
"A, lihat langitnya. Indah sekali,"
ucapku serupa gumam pada diriku sendiri. Mulutmu seketika mengatup, dan turut
mendongakan kepala. Kamu melihatnya juga?
"Indah, bukan?" Ucapku seraya menatapmu
dan melempar senyum. Kepalamu mengangguk sembari membalas tatapanku dengan
tatapan sendu penuh rindu. Bibirmu merekah menyambut senyumanku. Kamu
tersenyum. Dengan senyuman yang selalu buatku merasa mampu melakukan apa saja,
dan menjadi apa saja untuk mereguk kebahagiaan bersamamu.
"Kamu sudah tidak marah lagi, kan?"
Tanyaku sembari merangkul pinggangmu. Kamu balas merangkul, dan menggelengkan
kepala. "Syukurlah," ucapku. Kuelus dadamu beberapa kali dan sengaja
terus menaruh tanganku di sana. Kulekatkan kepalaku di dadamu. Sementara kamu
mengecup pucuk kepalaku. Saat itu, kudengar detak jantungmu telah berdetak sama
seperti detak jantungku, tidak lebih cepat, tidak lebih lambat; sama. Aku
bahagia, dan aku merasa kamu pun merasakan hal yang sama. Bahagia.
Terakhir, aku berdoa semoga Tuhan benar-benar
telah memberkati kita. Dan akan terus memberikan restunya dengan cinta yang
tulus, kebahagiaan, kebersamaan, dan kasih sayang tanpa mengenal waktu dan
keadaan. Meski cerita ini hanya ada dalam mimpiku, beberapa malam lalu. Aku
percaya. Kamu?
0 Comments