Resensi "Banten; Suatu Ketika": Imaji yang Merantai Fakta
Oleh : Rendy Rachman
Mahasiswa Universitas Gadjahmada, Fakultas Isipol Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan,
Pernah aktif Di Bulaksumur Post (Pers Mahasiswa).
Judul : Banten Suatu Ketika
Penulis : Guntur Alam dkk
Jumlah halaman. : xiv +162
Penerbit : Banten Muda Community & Framepublishing Yogyakarta
Tahun Terbit : 2012
Di tengah maraknya serbuan literatur terjemahan, Banten; Suatu Ketika terjun ke dalam khasanah sastra Indonesia untuk mengenalkan kembali pada jati diri kita sebagai sebuah bangsa. Kumpulan cerpen ini lahir dari Sayembara Menulis Cerpen 2012 Banten Muda Community, terdiri dari lima belas tajuk cerpen, dan mengangkat lokalitas Banten. Mengingat, sayembara ini diselenggarakan tingkat Nasional, kita patut mengagumi usaha generasi muda dalam mentransformasikan kearifan lokal dan fenomena sosial Provinsi Banten ke dalam ranah literasi.
Padahal, untuk menemukan literatur Banten (khususnya di luar Provinsi Banten) tak ubahnya mencari peniti di tumpukan jerami. Bahkan di provinsi yang digelari sebagai salah satu pusat budaya Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta, literatur Banten masih sangat langka. Di tengah keterbatasan sumber literatur Banten, lima belas penulis multibudaya telah berjuang untuk menangkap keindahan Banten, mendokumentasikan sejarah Banten, dan mengkomunikasikan gagasan-gagasan provokatif yang tersembunyi dalam gugusan fonetik. Mereka telah ‘meramalkan’ masa depan Provinsi Banten.
Sementara itu, dalam resensi konvensional, khususnya untuk mengulas antologi bersama (bukan penulis tunggal), keluasan jangkauan wacana cenderung dibatasi. Sedangkan menurut hemat resensor, resensi memiliki visi untuk menjembatani sebuah karya dengan masyarakat baca. Resensi konvensional (khas surat kabar) cenderung tidak signifikan, mengabaikan kritik sastra, dan sulit menjembatani sebuah karya dengan masyarakat luas. Maka, melalui pembahasan ini, resensor berupaya keluar dari penjara stereotype tersebut. Keluasan gerak pembahasan dimaksudkan untuk memberikan apresiasi terhadap lima belas cerpenis, bukan semata tertuju pada karya tiga pemenang utama. Dan memang, kita harus menghargai kerja keras cerpenis (penulis) yang memutuskan untuk berjuang di tengah-tengah negara yang cenderung mengabaikan sastra, seni, dan seniman.
Suara-suara yang Bisu
Bahasa mencerminkan bangsa. Pada bahasa yang terikat dalam karya sastra, dapat kita cermati struktur berpikir cerpenis (penulis), dan potensi humanisme-implementatif yang mengendap dalam gugusan fonetik. Hal inilah yang tampaknya belum teraba dalam paradigma penilaian juri. Dari teks pertanggungjawaban Dewan Juri, terdapat indikasi, penilaian masih bermain pada konsepsi cerpen konvensional.
[...] Sebab sejatinya cerpen hanya dibaca dalam waktu yang pendek pula (hal. viii).
Juga banyak sekali cerpen yang selalu ingin mengkhotbahi pembaca, seakan-akan pembaca adalah kumpulan manusia dungu atau kaum sesat yang mesti diselamatkan. Padahal kita tahu, ini hanyalah cerita yang tidak mungkin bersaing dengan kitab suci atau Perda Syariah. Cerita adalah cerita, tempat pembaca menemukan kesenangan, petualangan imajinasi, seraya kembali ke bumi sehari-hari dengan semacam bahagia dan keharuan yang tak tergantikan. Berhentilah mengkhotbahi pembaca, penulis. Beri mereka kebebasan menemukan sendiri petualangan di dalam dunia rekaan. Jangan bebani mereka dengan nasihat-nasihat yang tidak perlu (hal. ix).
Konsepsi Dewan Juri tersebut membenihkan indikasi bahwa cerpen sebagai karya sastra masih diasumsikan sebagai reproduksi imaji. Dan tujuan membaca cerpen lebih berorientasi sebagai alternatif hiburan, bukan sebuah proses dialogis antara cerpenis dan pembaca, sebagaimana hakikat komunikasi. Membebaskan pembaca menemukan petualangan sendiri seolah-olah mengamputasi eksistensi penulis. Padahal, para cerpenis Banten; Suatu Ketika bukanlah ‘penulis pesanan’ yang mengenal secara langsung pembacanya. Sehingga, mereka tidak tahu pasti apa yang diinginkan pembaca. Pun bukan penulis yang sengaja ‘dipesan’ untuk memuaskan kebutuhan pembaca untuk mendapatkan hiburan yang mengejutkan.
Kebebasan menulis dan kebebasan membaca haruslah setara. Apalagi, menulis dan publikasi tulisan merupakan salah satu cara untuk meraih hak asasi dalam berpendapat. Penulis yang tunduk (didikte selera) pembaca tak ubahnya penulis yang tak berdaya pada kolonialisme dan hegemoni.
Penilaian boleh saja berdasarkan mutu teks tertulis dan kerangka ideal juri, tetapi pernyataan ‘Berhentilah mengkhotbahi pembaca, penulis’ agaknya kurang tepat. Sebab, proses menulis sastra merupakan sebuah pertumbuhan (perkembangan) linguistik individu yang tidak bisa dipukul rata. Minat baca, budaya literasi, dan tingkat ketersediaan buku sangat tidak merata di Tanah Air. Dan tak bisa kita pungkiri, dasar-dasar terbentuknya tradisi sastra ini tidak merata di wilayah-wilayah Nusantara. Tak mengherankan, perkembangan pemikiran, kebebasan berpendapat, dan mutu karya sastra cenderung berkembang pesat di daerah sentral pemerintah.
Di sisi lain, ‘khotbah’ merupakan budaya linguistik di Indonesia yang bersifat kolektif. Hal ini disebabkan pengaruh budaya feodalistik. Implikasinya, cara berkomunikasi kita pun sarat feodalistik. Orangtua, guru, ulama, dan pihak otoritas menggunakan bahasa dengan ‘khotbah’ atau lazim disebut ‘nasihat’. Tak mengherankan, penulis (cerpenis) pemula rentan menulis dengan gaya ‘khotbah’.
Lebih dari itu, sebagian besar cerpenis Banten; Suatu Ketika merupakan cerpenis (penulis) pemula. Jadi, agaknya terlalu tendensius, bila penilaian mutu karya sastra terhenti pada teks tertulis, tanpa melibatkan latar belakang cerpenis. Dengan contoh sederhana, kita tentu tidak akan adil bila membandingkan kualitas karya Guntur Alam yang sudah sangat profesional dengan Winda Az Zahra yang masih belia (namanya pun asing dalam jagat sastra).
Bila kita membaca Banten; Suatu Ketika secara utuh, lima belas cerpenis yang meretasnya, menghidupkan suara-suara yang bisu, baik yang dibisukan zaman, maupun dibisukan ketidakpedulian. Banten Suatu Ketika tidak memberi harapan utuh untuk mendapatkan hiburan, melainkan ironi dan kearifan lokal Baten yang akan membenihkan pemikiran.
Dalam lima belas gugusan cerita, para cerpenis berupaya menangkap makna berdasarkan tema ke-Banten-an. Dan memang, cerpen tipe ini memiliki kerumitan. Di mana para penulis harus mempelajari sosiologi, sejarah, antropologi, dan psikologi sosial Banten. Cerpenis yang tidak bermukim di Banten harus mempelajari ke-Banten-an dan mentransformasikan ke dalam teks tertulis. Implikasinya, cerpenis rentan menuliskan pengetahuan baru dalam bentuk paparan yang minim sentuhan literer. Pembaca yang terbiasa membaca cerpen koran berpotensi merasa digurui. Akan berbeda halnya bila sayembara menulis cerpen Banten Muda Community membebaskan peserta dari tema. Di mana cerpenis menulis sesuatu yang benar-benar ia ketahui; mengangkat kearifan lokal dan fenomena sosial di mana ia bermukim.
Pada konteks ‘kitab suci dan Perda Syariah’ akan mengingatkan kita pada Provinsi Aceh. Dalam realitasnya, cerita bisa lebih tinggi posisinya daripada kitab suci ataupun Perda Syariah. Sebelum Islam dan agama-agama besar masuk ke Indonesia, ‘kitab suci dan Perda Syariah’ belum dikenal. Tetapi, nenek moyang Indonesia telah memiliki peradaban yang sangat maju. Nilai-nilai inilah yang dilestarikan sebagian komunitas sosial tradisional yang cenderung kita asumsikan terbelakang atau pedalaman.
Memang, kita tidak bisa terburu-buru melegitimasi cerpenis Banten; Suatu Ketika telah mencapai mutu high-lit. Walau demikian, kepekaan dan kesadaran cerpenis dalam menangkap sasmita Banten, rasanya tidaklah berlebihan menitipkan harapan di pundak para cerpenis Banten; Suatu Ketika untuk mendedikasikan diri dalam memberi suara-suara yang dibisukan. Pada kumpulan cerpen ini, para cerpenis membuktikan, bahwa dalam sastra; semua individu memiliki hak yang sama. Mereka ‘memanusiakan’ kembali dukun teluh, pembunuh, orang-orang miskin, hingga pelacur. Bahwa manusia tidak akan melakukan kesalahan dalam lingkungan sosial yang sehat; dan semua manusia setara di hadapan Tuhan-nya!
Kearifan Lokal dan Fenomena Sosial Banten
Kumpulan cerpen Banten; Suatu Ketika dibuka cerpen pamungkas bertajuk Tiga Penghuni dalam Kepalaku karya Guntur Alam. Karya cerpenis yang terpilih sebagai cerpenis terbaik Festival Seni Surabaya (2010) dan diundang dalam Ubud Writers and Readers Festival (2012) memang melampaui karya para nomine. Dalam cerpen konvensional yang membatasi ruang gerak pertumbuhan karakterisasi, Guntur Alam mampu menghadirkan tokoh yang mengalami ‘kepribadian terbelah’ dan kompleksitas kejiwaannya.
Tokoh utama ‘Tiga Penghuni dalam Kepalaku’ merupakan representasi anak-anak yang mengalami kekerasan dan represi lingkungan sosial yang tidak sehat. Hal ini ditimbulkan dari pembangunan sosial yang belum berkeadilan. Kesenjangan sosial semakin meruncing dan pembangunan sosial sulit untuk mengakomodasi hak asasi kaum marginal. Anak-anak merupakan korban yang paling gurih dan lemah dalam kondisi ini. Kaum marginal cenderung tidak memiliki akses untuk mendapatkan hak asasi (kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan). Tetapi, anak-anak kaum marginal, mengalami tekanan yang lebih kuat. Dapat kita cermati pada teks berikut.
Aku tercekat. Tubuhku seketika membeku. Dan gadis berkulit kuning langsat itu mendadak muncul dan menghuni kepalaku. Ia terkikik-kikik senang saat Kang Asep membelainya. Ia begitu bahagia saat Kang Asep membuka pakaiannya [...] (hal. 8).
Aku tersudut mundur. Aku ketakutan melihat Kang Asep dan Amir bersimbah darah. Ah, ini bukan perbuatanku. Ini perbuatan gadis cantik itu. Bukan aku! Tapi apa ada yang percaya bila aku mengatakan demikian? Apa mungkin teman-temanku sesama penjual pop mie di Pelabuhan Merak akan percaya? Aku gemetar (hal. 11).
Pada dua teks tersebut, terlihat dua stigma sosial terhadap anak-anak yang lahir dalam lingkungan depresi (marginal). Selain tidak bisa membela diri, anak-anak juga cenderung ‘tidak dipercaya’. Mereka tidak memiliki hak berpendapat. Dalam narasi yang terbatas, Guntur Alam mengikat paragraf demi paragraf dengan sinergis, intens, dan mencekam.
Predikat pemenang kedua jatuh ke tangan Ank Riadi dengan cerpen bertajuk Bebek Panggang Nyai Pohaci. Konflik cerpen ini tidaklah serumit konflik yang dirajut Guntur Alam. Bahkan, konflik dibiarkan ‘terbuka’. Di mana tokoh utama sebagai generasi muda (aku) memiliki perbedaan pandangan dengan generasi tua (Umi) yang ‘menyembah’ Nyai Pohaci dalam tradisi nukuh.
Maka lamat-lamat suara Umi menyelinap di bisik hujan: Nyai Pohaci sudah datang. Kelewat lamatlah kiranya suara itu. Namun begitu mengusik ketentramanku yang tengah masyuk dengan sebutir hujan yang menggelayuti pucuk kemangi dipekarangan. Ya, sebutir hujan itu, yang tampak rapuh namun tak jua terjatuh meski angin menampar-nampar begitu kejam, betapa sore itu menjelma sesuatu yang mengguruiku ribuan soal (hal. 13).
“Jika Dewi Sri dan Nyai Pohaci itu sama mengurus dan merawat padi di bumi, lalu siapakah ‘sampurnaning di dzat laa ilaaha illallah Muhammadarrasulullah’ yang Umi ucapkan tadi? Tanyaku lalai. Asal menguap saja. Namun tanpa dinyana pertanyaan sampahku itu ternyata mampu membuat Umi kehilangan keibuannya [...] (hal. 22).
Terdapat kegamangan generasi tua (Umi) menghadapi pemikiran generasi muda (aku). Di mana generasi tua mensejajarkan konsepsi ketuhanan antara teologis Islam dengan kepercayaan yang diwariskan leluhur tradisional. Sedangkan generasi muda mengamputasinya. Bagi Umi, Tuhan (Illaah/Ilahi) setara dengan Nyai Pohaci. Sedangkan bagi ‘aku’, Tuhan adalah Illah (Allah), bukan Nyai Pohaci. Bila kita merujuk sejarah para wali (lazim disebut ‘wali sanga’), kesadaran Umi masih berada pada zona sinkretisme.
Pada penyebaran Islam masa Wali Sanga terjadi peleburan teologi Islam dengan kepercayaan yang sudah ada. Ini dimaksudkan agar teologi Islam dapat diterima masyarakat tradisional dan perlahan-lahan keyakinan tradisional ini diamputasi. Maka, tak mengherankan, generasi tua masih memiliki kesadaran bahwa roh leluhur setara dengan Tuhan dalam konsepsi teologis (khususnya agama-agama abrahamik). Pada generasi muda, proses amputasi keyakinan tradisional dan teologis Islam telah menampakkan kondisi yang cukup ideal.
Tidak ada penyelesaian dalam cerpen Bebek Panggang Nyai Pohaci. Umi dan ‘aku’ tetap memiliki pandangan masing-masing. Kekuatan dalam cerpen ini, Ank Riadi memintal narasi ke dalam gugusan metaforis. Terdapat pembaruan dan inovasi bahasa. Sehingga, kosakata lepas dari penjara narasi konvensional.
Cerpen pemenang ketiga diraih Richa Miskiyya dengan cerpen bertajuk Perempuan Lesung. Melalui cerpen ini, Richa Miskiyya berkisah tentang ‘kasih tak sampai’. Bila dicermati ‘tubuh’ cerpen, tampaknya keunggulan lebih mengarah pada keutuhan struktur pemikiran. Pada paragraf pertama, Richa Miskiyya telah memikat pembaca untuk membaca sampai usai.
Suara lesung bertalu-talu di tepian laut. Di perkampungan tepi laut yang menghadap Selat Sunda itu, perempuan-perempuan kampung selalu membunyikan lesungnya di bawah rimbunnya pohon kelapa [...] Konon, karena suara-suara lesung yang terus dipukul perempuan-perempuan itulah, kampung itu dinamakan Tanjung Lesung (hal. 25).
Lebih dekat lagi, dalam Perempuan Lesung, cerpenis menuturkan kisah perempuan (Halimah) yang terperangkap dalam imajinya. Ia menanti pasangan hidup yang tepat. Di akhir cerita, Halimah diasumsikan ‘gila’ karena pemuda impiannya hanya hasil dari citra imajinya, tidak hadir dalam realitas.
[...] Mata Halimah membulat tatkala tak didapatinya Zareba, yang ada hanyalah lesung di tempat tidurnya (hal.31-32).
Alur cerita Perempuan Lesung mengalir deras dan terjalin erat. Kematangan Richa Miskiyya bercerita terlihat pula bagaimana ia menciptakan kejutan. Diksi demi diksi terjalin sinergis. Sehingga, satu kalimat pun ‘dicabut’ dari cerpen ini akan meruntuhkan pondasi yang dibangun sang cerpenis.
Selanjutnya, kita beralih pada nomine. Kearifan lokal Suku Baduy digelar Ikal Hidayat Noor dalam Lembur Singkur. Memang, kita tidak bisa bandingkan dengan pencapaian estetika cerpen pemenang, yaitu cerita Guntur Alam Tiga Penghuni dalam Kepalaku yang berhasil mengungkap tokoh kepribadian terbelah, cerita Ank Riadi Bebek Panggang Nyai Pohaci yang sangat prosaik, atau cerita Richa Miskiyya Perempuan Lesung yang menghadirkan struktur pemikiran yang sangat utuh.
Cerpen Lembur Singkur memiliki alur yang tertebak. Kekuatan cerpen ini justru terletak pada pengadopsian kearifan lokal Baduy yang tentu sulit bebas dari ‘gaya khotbah’. Namun, nilai yang diajukan cerpen Lembur Singkur memiliki potensi humanisme yang dapat kita gali. Menilai sebuah karya sastra tidak cukup dengan pencapaian estetika penulis semata dengan mengabaikan potensi humanitasnya. Lebih jauh lagi, dalam Lembur Singkur, Ikal Hidayat Noor mendokumentasikan hukum adat dan kearifan lokal suku Baduy, di antaranya direpresentasikan potongan pantun berikut.
Mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung penduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sawangtua (lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan).
Bukankah upaya Ikal Hidayat Noor patut kita banggakan? Melalui ceritanya, ia menyebarkan informasi kearifan Suku Baduy yang belum menjadi wacana kolektif masyarakat Indonesia. Pada sisi tertentu, kearifan lokal Suku Baduy jauh lebih humanis daripada ajaran agama yang sangat politis. Sementara Suku Baduy setia antara kata dan perbuatan; tak sedikit kita temukan ulama (pihak otoritas) yang mengkhianati kebenaran yang ia suarakan.
Bila dalam Bebek Panggang Nyai Pohaci cerpenis Ank Riadi berhasil menghadirkan ‘kegamangan’, pada Lembur Singkur, Ikal Hidayat Noor memunculkan sebuah ‘keputusan’ untuk menempuh (kembali) kepercayaan tradisional Suku Baduy.
Sinergitas antara ‘Bebek Panggang Nyai Pohaci’ dan ‘Lembur Singkur’ menghadirkan perspektif baru dalam menyikapi perbedaan keyakinan dan mengukuhkan religiositas. Bahwa, semestinya agama tidak terbatas pada kepatuhan teologis, melainkan menghadirkan kemanusiaan. Agama yang tidak ‘memanusiakan’ penganutnya tidak layak untuk dijalani. Dan orang-orang yang melakukan praktik (ritual) ketuhanan tradisional; tidak berarti lebih rendah dibandingkan kaum yang (mengaku) beragama.
Pada cerpen Candiru, Uthera Kalimaya menggelitik pembaca dengan peristiwa masuknya sejenis ikan air tawar (candiru) ke dalam alat kelamin Mang Sarkim. Pembaca yang menjadikan cerpen sebagai hiburan tentu akan menemukan hiburan yang memicu adrenalin. Pembaca bisa membayangkan sebuah alat kelamin membuat heboh satu desa! Tak sedikit spekulasi yang timbul. Dari yang bersifat klenik, politis, hingga absurd. Namun, bagi pembaca yang berupaya menemukan nilai-nilai humanisme, teks cerpen ini menyembunyikan kebenaran yang memilukan. Setidaknya, terdapat dua realitas yang telah menjadi polemik kolektif dalam masyarakat daerah (tradisional). Bisa kita cermati pada fragmen berikut.
[...] Namun, karena bagi mereka masjid adalah lambang kebangaan di suatu kampung, dan mereka ingin merasa bangga pula, didirikan masjid megah yang didirikan Mang Sarman itu [...] Karena itulah Allah murka, dan Mang Sarkim korban pertamanya [...] hal.39
“Tetapi, tetap saja, Pak, Anaknya Ceu Nonon yang bulan lalu kecelakaan juga diminta bayar dulu sebelum oprasi...,” bantah Bu Ruminah dengan suara bergetar menahan pilu [...] hal. 42
Dari teks tersebut dapat kita temukan realitas sistem sosial budaya yang telah mengalami reduksi. Pembangunan masjid menjadi ‘ajang pamer’, agar mendapat pujian, bukan semata ibadah memuja Yang Esa. Dan fasilitas kesehatan tidak mengakomodasi semua rakyat yang jelas tercantum secara hukum untuk dilindungi dan hak-hak asasinya diakomodasi negara.
Bila Ank Riadi bercerita dengan narasi puitik, Teguh Afandi menghadirkan realitas dengan bahasa yang bisa kita asumsikan ‘kasar’. Karena memang, dalam cerpen bertajuk Ini yang Berlabuh cerpenis Teguh Afandi menghadirkan realitas kehidupan jalanan.
Aku gembel. Aku anjing liar yang keleleran di terminal. Aku seperti setan yang lolos dari penjara Tuhan. Aku melata di sekitar Terminal Pakupatan [...] (hal. 53).
Melalui perspektif tokoh utama bernama Tobil, Teguh Afandi menggelar realitas jalanan. Di mana, anak-anak jalanan rentan dengan pemerasan, intimidasi, dan kekerasan seksual. Tidak hanya mengalami stigma sosial atau labeling (sebagai anak haram), Tobil juga tidak mendapatkan hak-hak asasi yang dijanjikan negara.
Apakah Teguh Afandi hanya menyajikan teks sekadar petualangan imaji? Tampaknya tidak. Sebab, fenomena yang dialami tokoh utama ‘Tobil’ merupakan refleksi keberadaan anak-anak jalanan yang tersebar di kota-kota Indonesia. Bahkan, di Yogyakarta yang dikenal dengan toleransi, kekerasan pada anak jalanan rentan terjadi. Beberapa kelompok anak jalanan terdapat ritual seks bagi pendatang baru. Di mana, seorang individu baru yang bergabung dengan ‘komunitas jalanan’ akan melayani kebutuhan seksual otoritas jalanan (preman).
Teguh Afandi menghadirkan realitas yang cenderung tak tersentuh otoritas pemerintah dalam menetapkan atau merealisasikan kebijakan-kebijakan publik. Rumitnya, masyarakat sekitar bersikap antipati atau cenderung melabelkan negatif terhadap ‘anak jalanan’; bisa berupa sebutan ‘pendatang’ atau ‘sampah masyarakat’. Sehingga, ‘anak jalanan’ terabaikan dan terperangkap dalam lingkaran kekerasan. Bagi mereka, hidup hanyalah menunda kematian, meski di dalam hati mereka masih menyimpan harapan. Dari narasi dan alur cerita Ini yang Berlabuh sasmita harapan itu ditangkap Teguh Afandi dan menghadirkannya ke pelupuk mata kita. Bahwa dalam kehinaan pun tersimpan keindahan, harapan, dan impian.
Nyaris kesemua cerpenis dalam gugusan Banten; Suatu Ketika menggarap pertentangan nilai. Sehingga, kumpulan cerpen ini agak kurang layak untuk didistribusikan ke perpustakaan Sekolah Dasar. Untunglah terselip sebuah cerpen yang patut untuk diadopsi dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia pada ranah Sekolah Dasar, yaitu Tolhuis Jembatan Rante. Melalui cerpen ini, Sutantinah bercerita mengenai peristiwa hilangnya Jembatan Rante.
Memang Tolhuis Jembatan Rante tergolong klise. Alur sederhana dan minimnya konflik. Tetapi, dalam cerpen ini terkandung kearifan lokal dan sejarah Banten. Bagi pembaca di Banten atau Jawa tentu bukanlah hal yang asing. Apalagi bila pernah menyusuri lokasi-lokasi bersejarah Banten. Di lain sisi, pemaparan Sutantinah berpotensi menimbulkan kebaruan (novelty) bagi pembaca di luar Pulau Jawa. Cerpen ini layak untuk diapresiasikan dalam wacana pendidikan Sekolah Dasar; khususnya di kawasan Banten untuk memperbaharui materi pembelajaran bahasa dan Sastra. Sebab, materi pengajaran bahasa dan Sastra Indonesia konvensional masih didominasi materi pengajaran masa pendudukan kolonial Belanda dan rekonstruksi Orde Baru yang miskin kearifan lokal. Dengan mengadopsi materi Banten ke dalam pengajaran bahasa dan Sastra, generasi muda Banten akan mengenal budayanya dan jati diri yang diwariskan leluhur Banten.
Dalam Banten; Suatu Ketika terdokumentasikan beragam wajah budaya Banten. Termasuk yang paling menggelitik, yaitu unsur-unsur mistik yang identik dengan sihir. Terdapat beberapa cerita yang mengangkat mistik dalam pengembangan karakter dan plot, tetapi cerpen Teluh, buah pena Skylasthar Maryam, menjadi karya yang paling intens menggali fenomena praktik teluh di Banten. Pada cerpen Teluh, cerpenis yang terpilih sebagai undangan dalam Ubud Writers and Readers Festival 2013, berkisah mengenai seorang politisi usia paruh baya (Samsu) dengan ibu (Nyai Sumbi) yang berprofesi sebagai dukun tradisonal Banten. Memang, beberapa fragmen cerpen ini terkesan klise. Suasana mencekamnya pun biasa diangkat cerpen-cerpen sejenis. Namun, terdapat keunikan, Skylasthar Maryam mengangkat relasi psikologis antara ibu dan anak. Di mana, kasih antara ibu dan anak tidak terputuskan.
[...] Nyaris sebulan dua kali selalu saja ada orang suruhan Ibu yang datang ke Bandung, mengirimkan amplop berisi uang. Tentu saja aku menerima uang itu tanpa sepengetahuan Mang Sobri (hal. 78).
Aku tidak peduli, aku hanya ingin memastikan keselamatan Ibu (hal. 80).
Dari kedua fragmen tersebut, dapat kita tangkap, Skylasthar Maryam memotret pergolakan batin secara utuh. Dalam realitas yang dipengaruhi dominasi perspektif oposisi biner, dunia dilihat dari dua sudut pandang yang berpasangan baik-jahat (hitam-putih, atas-bawah, dan sebagainya), cerpen Teluh merepresentasikan terdapatnya ruang abu-abu di mana konsepsi ‘baik-jahat’ saling berkelindan, bersifat relatif, dan terkadang sulit untuk dibedakan. Bahkan, seorang dukun ilmu hitam pun terdapat kasih yang tidak putus pada putranya. Demikian pula putranya, meski memilih zona aman, ia tetap terjalin secara batin dengan sang ibu.
Dan memang, pada hakikatnya, manusia memiliki ‘bakat’ untuk menjadi baik. Adapun asumsi seperti ‘jahat’ atau ‘menyimpang’ merupakan penilaian kita secara parsial karena perspektif kita dipengaruhi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Akibatnya, paradigma konvensional tidak bisa mencapai dan mengakomodasi kompleksitas jiwa manusia. Selalu ada kekeliruan dalam memandang apa saja. Melalui ‘Teluh’ ini, Skylasthar Maryam menghadirkan kemanusiaan dalam diri dukun teluh.
Pada Banten; Suatu Ketika terdapat cerpen yang belum matang, tetapi sangat memikat dari segi ide, yaitu Macan Angob dan Cula Karo.
Macan Angob karya Badri Yunardi berkisah tentang seorang santri bernama Muhammad Syihabuddin (Syihab) yang suka menguap (angob). Sebagian besar alur berkisar pada wabah kesurupan di pesantren. Wabah ini tidak bisa dihentikan kiai, dukun, hingga aparat militer. Sampai datanglah Syihab dengan anak-anak yatim piatu yang membacakan surat al-Ikhlas. Lalu, perlahan-lahan wabah kesurupan mereda, kecuali pada putri Kiai, Nong Dyah.
Untuk mengusir roh yang merasuki Nong Dyah, Syihab terlihat bertingkah seperti macan yang seolah menakut-nakuti roh asing dalam tubuh Nong Dyah. Sejak itulah, sebutan ‘macan’ disandingkan dengan ‘angob’ yang sudah ada sebelumnya.
Kurangnya kedisiplinan berbahasa membuat cerpen ini mereduksi ide yang sudah dibangun. Terdapat paragraf yang terlalu panjang dan banyak kesalahan ketik yang cukup mengganggu. Walau demikian, kelebihan cerpen ini terletak pada kemampuan cerpenis menghadirkan nuansa satir dan ‘menertawakan kehidupan’.
[...] Aih, doa-doa para Kiai tidak mempan, malah dibalas dengan doa-doa oleh mereka yang kesurupan, gertakan-gertakan Jawara pun tidak berhasil mengeluarkan setan-setan di tubuh santri [...] (hal 83-84).
Cerpen ini ditutup dengan pernyataan Syihab yang penuh canda, sekaligus menitikkan ironi.
Inilah wajah kita, Banten.
Wajah yang beraneka rupa
Inikah wajah kita?
Yang sinis menatap wajah murung yatim piatu (hal. 87)
Benarkah ini wajah Banten? Di tengah melesatnya pembangunan otonomi daerah, Banten masih abai terhadap / mengabaikan yatim piatu? Atau ini merupakan wajah kolektif kita; bangsa Indonesia (sebagai bangsa indonesia, y bangsa yang dikenal dengan kebhinekaanya (kemajemukannya) yang semakin terobsesi kemajuan teknologi, industri, ekonomi, dan politik; tetapi tidak mengakomodasi hak asasi rakyat kecil?
Cula Karo karya Winda Az Zahra menjadi satu-satunya cerpen yang dengan tegas membangun narasi berdasarkan ide futuristik. Dibuka dengan kalimat:
Bumi Pertiwi, 2062 (hal. 89).
Winda Az Zahra mengurai alur dengan menempatkan sang pawang Badak, Karo, sebagai tokoh utama yang bekerja di Ujung Kulon Rearch Center (UKRC). Lembaga ini dibentuk untuk melestarikan hewan khas Banten (Jawa Barat) ‘Badak Jawa’ yang harusnya punah pada 2040. Dalam gerak alur cerita, Karo bertemu dengan seorang ilmuwan cantik, Golda. Sehingga, munculah sentuhan romantisme dalam cerpen ini.
Sementara cerpenis lainnya mengupayakan sinergitas fakta dan imaji, Winda Az Zahra lebih mempertaruhkan dan menantang imaji. Inilah tampaknya membuat Winda Az Zahra kesulitan mengontrol gerak alur dalam cerpen. Agar lebih detil, Winda Az Zhara semestinya memilih mengembangkan fokus ‘upaya pelestarian badak’ atau ‘romantisme’ Kuro-Golda. Penggabungan dua fokus cerita ini menciptakan ambivalensi. Pada satu sisi, Badak dilestarikan. Pada sisi lain, Badak menyerang Golda dan mengakibatkan ilmuwan yang membuat Kuro kasmaran ini dalam keadaan kritis. Kendati Cula Karo belum maksimal, keberanian Winda Az Zahra dalam menciptakan dunia baru, patut kita banggakan.
Untuk romantisme, Wi Noya dengan Rabeg sangat memikat. Cerpen ini menjadi satu-satunya karya yang paling matang dalam menjalin romantisme dan berakhir bahagia. Wi Noya berkisah tentang seorang artis debus (Japar) dan istrinya (Romlah). Romlah berprofesi sebagai penjual kuliner khas Banten yang terbuat dari kambing dan jeroan (rabeg). rabeg
Japar sangat terobsesi menjadi artis debus. Meskipun kakinya cacat (nyaris buntung) dalam sebuah penampilan debus, obsesi Japar tidak memudar. Ia ingin menjadi artis debus sukses. Sementara itu, Romlah merasa heran cita rasa rabeg buatannya tidak selezat Abah (kurang dijelaskan apakah ayah kandung atau ayah mertua). Hingga, ia menemukan resep masakan Abah yang ternyata disembunyikan Japar.
Cerpen Rabeg memukau dengan ketenangan cerpenis memintal kisah. Bagaimana seorang istri menghormati rahasia suami. Ini sebuah refleksi yang indah bagi suami-istri di zaman ini yang sering menuntut ‘keterbukaan’. Padahal, kita akui atau tidak, semua orang berhak memiliki rahasia, sebagaimana Japar. Tuntutan ‘keterbukaan’ pun bisa menciptakan ‘pengekangan’.
[...] Di antara lipatan sarung yang bagi Japar tabu disentuh istrinya, menyembul lintingan kertas berserat kuning [...] (hal. 106).
Cerpen Rabeg memiliki potensi sebagai antitesis pada karya (cerpen) yang diidentikkan falosentrisme atau misoginis. Taktik Japar menyembunyikan resep rabeg (lintingan kertas berserat kuning) agar cita rasa rabeg buatan Romlah tidak enak (tidak laris) bisa diasumsikan sebuah tindakan yang diskriminatif. Sebagai suami, Japar, menghalangi istrinya untuk maju.
Tetapi, bila kita memutar waktu dan mencermati ‘sejarah laki-laki’, maka akan kita temukan hegemoni yang menjauhkan laki-laki dari humanitasnya. Bahwa, laki-laki dikondisikan sebagai makhluk (gender) yang sarat dengan kekerasan. Kebudayaan laki-laki adalah kebudayaan kekerasan. Laki-laki yang tidak memiliki ‘kekerasan’ (seperti gagah dan perkasa) sebagai konsep diri akan menerima stigma sosial. Salah satu sebutan yang berakar dari stigma sosial ini yaitu sebutan ‘banci’.
Pada konteks cerpen Rabeg, pertentangan antara nilai-nilai ‘budaya kekerasan’ muncul dalam diri Japar. Ia terobsesi menjadi seniman debus. Tak mengherankan memang. Sebab, menjadi artis debus yang memukau penonton dengan aksi-aksi ‘berbahaya dan mematikan’ cenderung lebih maskulin daripada pekerjaan yang ditawarkan Romlah (sebagai petani, pedagang, atau buruh bangunan).
Wi Noya menutup cerpen ini dengan indah. Di mana Japar gagal menjadi artis debus dan melahap rabeg lezat buatan istrinya. Agar ketegangan memanas, lazimnya dalam cerpen-cerpen yang menghadirkan kejutan. Bisa saja Romlah merasa dikhianati karena Japar menyembunyikan resep rabeg. Japar memarahi istrinya karena kelezatan rabeg buatan Romlah akan mengingatkannya pada masakan Abah dan resep rabeg yang ia sembunyikan ditemukan Romlah. Tetapi, Wi Noya memilih untuk meredam konflik.
Tetapi, ketiadaan kejutan konvensional yang menghantam tersebut, malah membuat Rabeg menjadi istimewa. Wi Noya berhasil menghadirkan refleksi untuk berdamai dengan prasangka. Konflik tidak selalu bisa dihadirkan secara verbal atau dialogis, melainkan dalam bentuk pergulatan batin. Bahwa semua orang pasti memiliki rahasia-rahasia yang bergulat dalam batinnya. Ketidakterbukaan tidak selalu berarti memudarnya kasih sayang.
Dari jejeran cerpenis dalam Banten; Suatu Ketika, Aksan Taqwin Embe lah tampaknya yang terburu-buru merangkai logika dalam gugusan fonetik. Dalam kumpulan cerpen ini, Aksan Taqwin Embe mengangkat keberadaan kujang (keris khas Banten) dalam cerpen bertajuk Kujang Meradang. Cerpenis mengangkat narator bernama Encep dengan ayah angkat yang menderita akibat kehilangan kujangnya. Di akhir cerita, sang ayah mengalami transformasi fisik menjadi badak. Ide cerita memikat. Sayang, cerpenis belum mengembangkan dengan matang. Kesalahan ketik tersebar. Belum disiplin dalam berbahasa. Bahkan, pada hal-hal yang mendasar, seperti sebutan untuk ‘bapak angkat’ (karena tokoh ‘aku’ ditemukan atau bukan putra istri dari suami sebelumnya), tertulis sebagai ‘bapak tiri’.
Umumnya, koreksi atas karya sastra dianggap selesai setelah publikasi. Revisi terbatas pada kesalahan ketik. Tapi, resensor menyarankan agar Kujang Meradang direvisi bila Banten; Suatu Ketika kembali naik cetak. Logika, pilihan diksi, dan korelasi antar paragraf perlu direkonstruksi ulang. Sehingga, ide besar dalam cerpen ini dapat dikomunikasikan dengan indah.
Selain Guntur Alam dan Teguh Afandi yang mengangkat keberadaan anak-anak yang menjadi subjek korban kekerasan, hadir pula Ismawanto dalam cerpen bertajuk Tarian Sang Gurandil. Gurandil yang dimaksud adalah penambang emas liar di kawasan Cikotok. Tokoh Adang menjadi representasi anak-anak yang menjadi subjek kekerasan domestik. Karena terpikat kemewahan, ibunya memaksa Adang menjadi gurandil.
“Anak-anak, Monas itu adalah milik kita. Mestinya itu menjadi simbol kebesaran kota kita, Cikotok [...] Suatu hari tanah leluhur kita dikeruk emasnya 25 kilogram kala itu yang sekarang dipancang di Monas itu [...] Cimandur, jembatan tua tinggallah catatan hitam para romusha.” Itulah yang tak pernah lupa dalam ingatan Adang (hal. 127).
[...] Kemudian Jaro bicara, “Siapapun tidak boleh ada yang bicara macam-macam di luar kalau kita masih ingin menjadi sang gurandil di sini [...] Mak Ayun masih belum berhenti menangis. Dia menyesali keputusannya memaksa Adang menjadi sang gurandil sejati (hal. 130).
Pemaksaan ibunya, mengantarkan Adang pada kecelakaan di pertambangan. Selain Mak Ayun tidak memiliki kesanggupan finansial agar Adang mendapat perawatan medis, masyarakat akan terancam mendapat hukuman pemerintah bila Adang di bawa ke rumah sakti.
Sungguh sebuah peristiwa yang memilukan. Sebab, emas di puncak tugu Monas ternyata berasal dari Cikotok. Sementara Monas dipuja sebagai kebanggaan negara, di daerah penghasil emas pada tugu ini, penduduknya masih jauh dari sejahtera dan dilarang menambang kekayaan alamnya.
Selain Richa Miskiyya yang mengangkat ‘kasih tak sampai’ dalam Perempuan Lesung muncul pula Fatih Muftih yang menuturkan kisah yang senada dalam cerpen bertajuk Mercusuar. Cerpen Mercusuar berkisah tentang cinta Van pada Laksmi yang bertepuk sebelah tangan. Menggunakan cara bertutur alur ‘sorot balik’. Sehingga, ruang cerpen ini seolah dibangun dua dimensi yang berbeda, yaitu masa Van remaja dan Van dewasa. Dapat kita cermati pada dua fragmen berikut.
“Suatu nanti kamu harus mengajakku ke sana.”
Tanpa perlu kau pinta, Laks.
“Itu akan melengkapi kepingan mercusuarku.”
Kupastikan itu, Laks (hal. 140).
Mercusuar impian Laksmi ini malah menjadi pertanda, bahwasanya aku sendiri adalah mercusuar, yang sepanjang malam terus berpendar, sang nahkoda pelayaran hati, Laksmi, sudah tak melewati tempatku berdiri (hal. 143).
Kedua keping dimensi tersebut diikat secara simbolik dengan keberadaan ‘mercusuar’. Sehingga, alur tidak berlari dari pondasi yang di bangun. Laksmi yang memiliki replika mercusuar yang terobsesi pada mercusuar nyata. Dan, Van yang di kemudian hari dapat menapakkan kaki di mercusuar. Meski dibumbui dengan sentuhan misteri, konflik terasa datar. Tidak teraba pertentangan nilai. Walau demikian, kepiawaian Fatif Muftif dalam mengikat alur yang terbelah pada dua ruang dimensi, mengindikasikan cerpenis belia ini memiliki potensi yang akan terus berkembang dan menjanjikan di masa datang.
Kumpulan cerpen Banten; Suatu Ketika ditutup Sulfiza Ariska dengan cerpen bertajuk Larva Waktu. Cerpen ini mengangkat kisah dengan latar belakang Banten masa pendudukan kolonial Belanda. Terdapat tiga nyai (gundik) milik Meneer Van Reijnst yang mempengaruhi alur cerita, yaitu Nyai Dasima, Nyai Landrang, dan Nyai Pudhakwangi.
Sementara Nyai Landrang dan Nyai Pudhakwangi terbius kemewahan dan kesenangan, Nyai Dasima memiliki kesadaran untuk mengubah nasibnya. Hal ini dipicu kecintaan Nyai Dasima pada membaca. Dengan membaca, cakrawala berpikirnya menjadi luas. Dari membaca pula, khususnya buku Max Havelaar, ia menemukan jalan untuk bergabung dengan pergerakan kaum sosialis-humanis-liberal Eropa dan Asia dalam wadah organisasi Pemoeda Banten. Penguasaan Nyai Dasima berbahasa asing mengantarkan Nyai Dasima menjadi penerjemah dan penulis pada surat kabar Pemoeda Banten.
Di antara ketiga Nyai milik Meneer Van Reijnst, Nyai Dasima (Upi) memegang peran utama yang disimbolkan pada judul cerpen, sebagai ‘larva waktu’. Meskipun melepaskan status dan kenyamanan sebagai Nyai, Nyai Dasima memiliki kuasa atau kendali atas nasibnya. Bahwa, ia mampu beradaptasi seiring perjalanan waktu, menciptakan hidup menjadi lebih baik, tidak lumpuh di ‘zona aman’ yang disimbolkan sebagai ‘kepompong’.
Sayangnya, upaya cerpenis dalam mengikat alur tidaklah efektif. Sebab, pada cerpen ini terdapat tokoh yang bisa diasumsikan terlalu banyak untuk sebuah cerpen. Tak hanya sekadar banyak, para tokoh bermain dan membangun karakter masing-masing. Akibatnya, ikatan simbolik menjadi rapuh. Dapat kita cermati pada paragraf berikut.
Markas Pemoeda Banten terletak di Kampung Lebak. Di sana, Nyai Dasima tidak hanya menemukan Marie Dapperste. Ada dokter Alfred van Vaalberg dari Utrecht. Ia yang pertama kali mendiagnosa penyakit sifilis—dalam tubuh Nyai Dasima—dan mengobatinya. Nyai Dasima juga mengenal Fu Zhang Xiu yang penuh energi kehidupan. Perempuan bermata sipit itu belum genap berusia tujuh belas tahun, tetapi dirinya menjadi motor Angkatan Muda Tiongkok di Timur Jauh—gerakan yang membela rakyat Tiongkok dari penindasan Kaisarina Ye Si (hal. 150-151).
Walau demikian, penguasaan Sulfiza Ariska pada sejarah pendudukan kolonial Belanda, membentangkan harapan, kelak cerpenis ini menetaskan karya yang pernah diretas maestro sastra Indonesia yang intens mengangkat masa kolonial Belanda; Pramoedya Ananta Toer.
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan, imaji para cerpenis Banten; Suatu Ketika telah merantai fakta. Semua peristiwa yang dibahasakan melalui gugus fonetik kumpulan cerpen ini memiliki substansi kontekstual dan realitas. Para cerpenis telah memungut fakta dan mentransformasikan ke dalam seni sastra. Melalui lima belas cerpen ini, para cerpenis mendokumentasikan fenomena sosial, menjalin ke dalam struktur pemikiran dalam tulisan, dan memicu lahirnya solusi. Maka, semakin kukuhlah implementasi intertekstualitas. Bahwa, karya sastra kapan pun ditulis tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Karya sastra akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki konvensi, tradisi, pandangan tentang estetika, tujuan berseni, dan lain-lain, yang kesemuanya dapat dipandang sebagai wujud kebudayaan.
Oleh sebab itu, Banten; Suatu Ketika sangat potensial untuk digali relevansinya dengan kontekstual Banten. Agar, pemerintah Banten dapat menata pembangunan sosial yang lebih merata dan berkeadilan. Budaya literasi perlu terus dikembangkan. Sayembara menulis cerpen Banten menjadi agenda tahunan dan kualitas penilaian ditingkatkan. Para juri sebaiknya tidak terperangkap dalam gugusan fonetik, melainkan melihat mutu dialogis antara teks dan kontekstual. Tentunya, kita membutuhkan praktisi sastra yang tidak hanya piawai dalam susastra, melainkan menguasai psikologi sosial-antropologi-sosiologi ke-Banten-an. Implikasinya, cerpen (karya sastra) tidak lagi dipandang sebagai petualangan imaji yang hanya berfungsi untuk mengusir sepi; setelah kebutuhan terhibur mencapai kepuasan, teks sastra ditinggalkan. Melainkan, adanya upaya penggalian nilai-nilai humanisme dalam teks sastra. Dalam ‘atap sastra’ lah semua elemen-elemen sosial disuarakan; tempat di mana presiden dapat setara dengan pelacur; sebuah potensi yang sulit dijangkau keilmuan lainnya yang cenderung parsial, diskriminatif, dan dikotomis.
Terakhir, kesejahteraan seniman sastra dan seniman bidang lainya, perlu ditingkatkan. Sebagaimana Ali Sadikin membangun Jakarta. Di mana seniman memiliki eksistensi dan posisi terhormat yang direpresentasikan pembangunan Taman Ismail Marzuki. Sebab, para seniman-lah yang peka menangkap suara rakyat dan mendokumentasikan fenemona sosial. Dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang ditangkap seniman, pembangunan sosial di Banten akan lebih berkeadilan. Hingga, Banten Madani bukan sekadar mimpi atau slogan, melainkan terwujud menjadi nyata. Semoga!
0 Comments