Menjadi Generasi Cabe Maksimal
Ilustrasi: matamaduranews.com/ |
*Apresiasi Buku Bahasa Cabe-cabean karya Encep Abdullah
Beberapa tahun lalu, netizen diramaikan produk cabe-cabean. Wartawan dan orang-orang bahasa pada akhirnya kecipratan pekerjaan. Jika menyoal bahasa yang menyangkut urusan perut seperti ini, kawan saya, Encep Abdullah, tidak mau tertinggal. Ia tidak mau menerima begitu saja istilah baru itu. Selain karena merasa sebagai jebolan Pendidikan Bahasa Indonesia yang kesehariannya mengajar bahasa, juga karena—saya menyakini ini—ia sedang membutuhkan uang untuk mentraktir pacarnya. Maka, ia pun menulis tulisan pendek yang ia kirimkan ke kolom bahasa di media massa. Brengseknya, tulisannya itu langsung dimuat. Begitu pula dengan tulisan-tulisannya yang lain. Entah dari hasil tangkapannya di lapangan ketika ia asyik membonceng pacarnya, dari hasil obrolannya dengan siswa, maupun dari hasil pertengkaran dengan orang tuanya. Betapa brengsek, bukan?
Mengusung nama Azka EA Abhipraya, ia terus mengulas persoalan bahasa ini hingga honornya naik. Meski kemudian ia memutuskan kembali pada nama asli, yaitu Encep Abdullah. Keputusan itu ia ambil atas dasar pemikiran; 1) ia sudah akan kawin, beranak dan berbahagia—mengutip puisi Tak Sepadan karya Chairil Anwar.; 2) Nama pena tidak berlaku di SK; 3) Tidak mau durhaka pada orangtua. Dalam hal ini, ia menerima konsekuensi honornya kembali ke honor penulis pemula, meskipun dengan sangat jengkel.
Dari tulisan-tulisan itulah, buku bertajuk Cabe-Cabean ini lahir. Meskipun dengan susah payah karena sempat menghadapi kenyataan ‘ditipu’ percetakan yang berimbas pada penundaan kelahiran, padahal saat itu pesta sudah dirayakan.
Buku ini mendapat Kata Pengantar serta dieditori langsung oleh “Polisi Bahasa” kami sewaktu di kampus, yaitu dosen pembunuh mood berbahasa generasi kekinian alias dosen pembimbing yang paling rajin mencoret seluruh isi skripsi alias mantan Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untirta, Odien Rosidin. Saya yakin, saat mengeditori naskah buku ini pun, segala macam kembang bermekaran. Oleh karena itu, Anda tidak perlu mengkhawatirkan keberadaan kesalahan berbahasa di buku yang diterbitkan oleh Kubah Budaya ini.
Dalam Kata Pengantar, Odien memberikan pemaparan kasus berbahasa di media sosial yang diperkarakan secara hukum. Dari beberapa kasus itu, ia tarik kesimpulan bahwa kita tidak bisa bermain-main dengan urusan bahasa untuk sekadar mencari kesenangan demi meluapkan emosi. Meskipun, bahasa secara hakikat adalah lambang manasuka berupa nomenklatur yang disepakati sebagai alat penghubung. Tetapi, bahasa juga melekat dengan pikiran, nilai, norma, budaya, dan ideologi. Odien juga mengatakan bahwa urusan bahasa adalah urusan yang serius dan bukan perkara iseng ataupun candaan.
Sampai di paragraf itu, saya mulai deg-degan. Jangan-jangan setelah tulisan ini dihantarkan ke khalayak, saya akan disidang dosen yang memberi saya nilai C pada mata kuliah Linguistik itu. Bisa-bisa nilai itu ia ralat menjadi Z (zonk!). Oh, tidak! Lebih baik saya langsung kabur dan masuk pada isi Cabe-cabean.
Encep Abdullah ini berengsek. Alih-alih menghidangkan bahasa yang membuat deg-degan, serius seperti buku-buku rujukan mata kuliah, ia malah membahas persoalan bahasa yang menyebalkan itu dengan cara yang menyenangkan. Meskipun sadar atau tidak, sebenarnya pembaca sedang dibawa masuk ke dalam arena persidangan bahasa. Dalam hal ini, Encep Abdullah berhasil mengubah suasana yang sering membuat pembaca tertidur pulas, menjadi suasana pesta dansa yang memiliki 28 hidangan. yaitu: 1) Persoalan Aku dan Saya; (2 Bahasa Plang Jalan Tol; 3) Rokok Membunuhmu; 4) Cabe-cabean: Reduplikasi atau Akronim?; 5) Keberengsekan Vokal E dan I; 6) Fonem /H/antu; 7) Doktrin Bahasa Nenek Moyang; 8) Dinamika Slogan Para Caleg; 9) Mempercayai Pakai P?; 10) Woles Aja Keles; 11) Kata Ustaz; 12) Piala Dunia; 13) Ramadan; 14) Low Batt; 15) Telanjur Telentang; 16) Bahasa Nembak, Damai dan Korupsi; 17) Berteduh; 18) Begal; 19) Buang Air Harap Disiram!; 20) Bulan Bahasa di Mata Kita; 21) Pertamini; 22) Ok, Fix!; 23) Ngisi, Mengisi, dan Berisi; 24) Pedofil atau Paedofil; 25) Wakwaw; 26) Tunjuk Tangan; 27) Dirgahayu RI; 28) Lebaran.
Dari ke-28 hidangan itu, pembaca akan menemukan tawa, canda dan suasana keseharian yang tidak berjarak. Tidak terlalu serius dan sangat kekinian. Tapi, alam bawah sadar pembaca akan menerima rasa yang sama seperti saat membaca buku rujukan mata kuliah, buku how to dan buku-buku sejenisnya, yaitu kesadaran. Kesadaran yang dibalut keriangan inilah yang ditanak Encep Abdullah dalam ke-28 hidangan itu. Encep seperti tidak ingin mengikuti jejak para pendahulunya yang sering membuat suasana malas membaca itu begitu lekat. Begitu dekat dengan diri generasi masa kini yang mengaku sebagai pelajar, mahasiswa, guru, atau profesi lainnya.
Generasi Cabe Maksimal
Selain kerenyahan dan kekinian yang disuguhkan Encep, buku setebal 97 halaman ini juga seperti tantangan Encep kepada para generasi saat ini. Apalagi jika bukan untuk lebih memaksimalkan pengetahuan berbahasanya. Generasi yang mana? Tentu saja generasi yang sering dan suka mencampuradukan bahasa, sering menjawab soal UTS dan UAS dengan bahasa tutur, sering mengirim SMS dengan huruf BeSaR K3C1L mengganti saya menjadi saia atau aku menjadi aq atau kita menjadi qita, kalau menjadi kalo, mau menjadi mo dan lain-lain. Suka membuat singkatan seenak perut. Generasi Cabe-cabean.
Banyak pihak menduga jika kehadiran generasi ini akibat dari mahalnya harga Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Banyaknya orang yang meremehkan bahasa Indonesia. Banyaknya guru-guru keilmuan lain yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada siswa. Selain itu, kemunculan kamus bahasa prokem atau bahasa gaul, menambah kekhawatiran jika bahasa Indonesia akan punah.
Tapi, alih-alih mengkhawatirkan kepunahan Bahasa Indonesia, Encep Abdullah malah mendukung keberadaan generasi ini. Dalam sesi diskusi, Encep berseloroh jika kehadiran generasi ini malah akan menambah kosakata Bahasa Indonesia. Hal itu akan berakibat pada ketebalan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi selanjutanya. Hanya saja, menurut Encep, pengguna bahasa generasi ini kurang kreatif dan cenderung tidak konsisten. Selain tidak memiliki rumus sendiri, generasi ini cenderung sembrono dan tidak memiliki aturan penggunaan.
Oleh karena itu, apabila ingin menjadi generasi masa kini, jadilah “Generasi Cabe Maksimal”. Young Lex yang dikutip Encep dalam buku ini memberikan ciri Cabe-cabean itu: (1) pakai behel untuk bergaya, (2) segala sesuatu di-update dan memakai rok di atas perut, (6) cabe sering teriak cabe, (7) malam mingguan di pasar malam, (8) pacaran di fly over, (9) tidak terima keadaan, dan (10) berbaju ketat, bercelana pendek, naik motor. Maka, “Generasi Cabe Maksimal” lebih kepada memaksimalkan pergaulan dengan terlebih dahulu 1) mempelajari bahasa Indonesia dengan baik, 2) berkreativitas, 3) memahami rumus tata bahasa, 4) berkonsisten, dan 5) gemar membaca.
Kelima komponen dasar ini yang bisa membalikkan makna buruk yang selama ini dilekatkan pada istilah Cabe-cabean. Seterah (baca: terserah) mau nongkrong di mana, sama siapa, memakai pakaian seperti apa dan berwarna apa (cabe ijo, merah, oranye), asalkan bisa memaksimalkan dan menerapkan kelima komponen dasar itu, maka generasi ini akan terselamatkan sehingga isengers seperti Encep Abdullah ini tidak akan mendapat pekerjaan. Jika tidak, maka generasi ini hanya akan menjadi generasi ternak saja. Dan orang-orang seperti Encep yang iseng itu dengan senang hati memerah dan mengisi perutnya. Sementara ternak tidak mendapat apa pun. So, siap menjadi “Generasi Cabe Maksimal?” [*]
*Uthera Kalimaya, tukang ngopi dan pembaca yang bergiat di Kubah Budaya.
0 Comments