Kepada Lelaki Yang Hatinya Sedang Tidak Baik
Sayang, tujuh ratus tiga puluh sekian hari, sejak tatapan pertama, semesta menjabat erat kita. Aku percaya, hukum semesta sedang berlaku pada kita. Ini bukan suatu kebetulan. Meskipun, jujur saja, aku lupa pada pertemuan pertama itu. Juga pada puisi yang kau tulis di sana. Tapi, rahasia semesta memang selalu menakjubkan. Kau datang dengan membawa agenda hari depan. Meski aku tahu, masih banyak kemungkinan yang tidak bisa direncanakan. Seperti kekecewaan, kemarahan dan kepergian.
"Bisakah aku memercayaimu?" tanyaku suatu waktu. Kalimat itu bukan tanpa sebab, tentu saja. Kau tahu, bukan? Kadang-kadang perasaan perempuan itu sangat menakutkan. Mereka memiliki sensor yang lebih peka dari alat sensor di bandara, bahkan dari penciuman anjing penjaga. Sekecil apapun masalah, alarm di kepalanya berbunyi. Jarak, tidak berlaku lagi di sini.
Sayang, sensor itu aku menamainya 'sakit kepala'. Bukan tanpa sebab. Kepalaku memang menjadi sangat sakit, sesakit-sakitnya rasa sakit. Gerakan sekecil apapun hanya menambah rasa sakit saja. Memalingkan wajah tidak bisa, membuka resleting kantung obat pun, sungguh menyiksa. Kau tentu tidak pernah merasakan sakit macam ini. Kau lelaki. Sama seperti seluruh sahabat, kawan dan rekan kerjaku yang lebih banyak laki-laki. Kau dan mereka tidak memiliki kepekaan itu. Kalian bicara, ya sekadar bicara. Membicarakan perempuan seksi yang lewat di depan mata, ya sekadar membicarakannya. Bahkan ketika menyukai dan memacarinya pun, menurut kalian biasa saja.
Tapi berbeda dengan perempuan, sayang. Kalian bicara satu kata atau kalimat, akan diingat hingga kiamat. Karena itu, aku sudah bilang padamu juga pada mereka. Hati-hati menjaga mulut dan ibu jari. Sebab, bagi perempuan semuanya terhubung pada 'perasaan' dan kepercayaan. Bicara mengenai kepercayaan, kepercayaan para perempuan bisa mencapai angka 100% dengan banyak rincian. Aku tidak perlu merincinya, bukan?
Tentu, tidak semua perempuan demikian. Ada yang memutuskan tetap percaya saja, meskipun para lelaki telah mengkhianatinya berulang kali. Berbohong tiada henti. Keputusan itu karena beberapa sebab, entah anak (bila sudah berumah tangga), harta atau apapun. Perempuan yang memilih percaya saja ini tidaklah bodoh. Mereka lebih pandai, menurutku. Pandai memanipulasi rasa sakit, gerak tubuh, ekspresi dan lain sebagainya. Mereka mau menelan seluruh sakit, pandai menyembunyikan air mata dari seluruh mata di dunia ini dan seterusnya.
Aku pun memutuskan mempercayaimu. Meski alarm terus berbunyi. Sialan. Kepalaku sakit berulang kali, bahkan selera makanku kacau. Itu hanyalah akibat yang membuatku akhirnya mendesakmu. Bukan, bukan karena aku suka melakukannya. Tapi, lebih kepada aku sedang meminta tolong padamu untuk mematikan alarm di kepalaku.
"Hatiku sedang tidak baik," katamu pada akhirnya. Ketidakbaikan yang telah kuprediksi. Tapi tetap membuat dadaku nyeri. Sialan. Aku benci pada diriku yang seperti ini.
Jadi, begini saja, sayang. Jika hatimu sedang tidak baik, silakan berbalik dan perbaiki dengan upaya terbaik. Aku percaya, manusia bisa menyembuhkan diri sendiri dengan atau tanpa bantuan orang lain. Aku juga percaya, kau akan menjaga kesejatian dirimu. Aku pun akan menyembuhkan diri dan menyiasati keinginan-keinginan yang tidak wajar di dalam dadaku. Juga, akan tetap menjaga janji untuk belajar pada apapun, pada siapapun. Tentu saja, aku akan tetap menjaga diri tanpa rasa takut pada apapun.
Bila hatimu tidak kunjung membaik, kita serahkan kembali pada semesta. Biar semesta lagi yang menentukan kebaikan macam apa untuk kita.
Dan bila kita dipertemukan kembali entah di mana dan pada purnama keberapa, barangkali itulah jawabannya. Saat hal itu terjadi, mari jangan berbalik lagi. [Serang, 30 Mei 2016]
P.S: Jangan lupa makan dan hati-hati di jalan.
"Bisakah aku memercayaimu?" tanyaku suatu waktu. Kalimat itu bukan tanpa sebab, tentu saja. Kau tahu, bukan? Kadang-kadang perasaan perempuan itu sangat menakutkan. Mereka memiliki sensor yang lebih peka dari alat sensor di bandara, bahkan dari penciuman anjing penjaga. Sekecil apapun masalah, alarm di kepalanya berbunyi. Jarak, tidak berlaku lagi di sini.
Sayang, sensor itu aku menamainya 'sakit kepala'. Bukan tanpa sebab. Kepalaku memang menjadi sangat sakit, sesakit-sakitnya rasa sakit. Gerakan sekecil apapun hanya menambah rasa sakit saja. Memalingkan wajah tidak bisa, membuka resleting kantung obat pun, sungguh menyiksa. Kau tentu tidak pernah merasakan sakit macam ini. Kau lelaki. Sama seperti seluruh sahabat, kawan dan rekan kerjaku yang lebih banyak laki-laki. Kau dan mereka tidak memiliki kepekaan itu. Kalian bicara, ya sekadar bicara. Membicarakan perempuan seksi yang lewat di depan mata, ya sekadar membicarakannya. Bahkan ketika menyukai dan memacarinya pun, menurut kalian biasa saja.
Tapi berbeda dengan perempuan, sayang. Kalian bicara satu kata atau kalimat, akan diingat hingga kiamat. Karena itu, aku sudah bilang padamu juga pada mereka. Hati-hati menjaga mulut dan ibu jari. Sebab, bagi perempuan semuanya terhubung pada 'perasaan' dan kepercayaan. Bicara mengenai kepercayaan, kepercayaan para perempuan bisa mencapai angka 100% dengan banyak rincian. Aku tidak perlu merincinya, bukan?
Tentu, tidak semua perempuan demikian. Ada yang memutuskan tetap percaya saja, meskipun para lelaki telah mengkhianatinya berulang kali. Berbohong tiada henti. Keputusan itu karena beberapa sebab, entah anak (bila sudah berumah tangga), harta atau apapun. Perempuan yang memilih percaya saja ini tidaklah bodoh. Mereka lebih pandai, menurutku. Pandai memanipulasi rasa sakit, gerak tubuh, ekspresi dan lain sebagainya. Mereka mau menelan seluruh sakit, pandai menyembunyikan air mata dari seluruh mata di dunia ini dan seterusnya.
Aku pun memutuskan mempercayaimu. Meski alarm terus berbunyi. Sialan. Kepalaku sakit berulang kali, bahkan selera makanku kacau. Itu hanyalah akibat yang membuatku akhirnya mendesakmu. Bukan, bukan karena aku suka melakukannya. Tapi, lebih kepada aku sedang meminta tolong padamu untuk mematikan alarm di kepalaku.
"Hatiku sedang tidak baik," katamu pada akhirnya. Ketidakbaikan yang telah kuprediksi. Tapi tetap membuat dadaku nyeri. Sialan. Aku benci pada diriku yang seperti ini.
Jadi, begini saja, sayang. Jika hatimu sedang tidak baik, silakan berbalik dan perbaiki dengan upaya terbaik. Aku percaya, manusia bisa menyembuhkan diri sendiri dengan atau tanpa bantuan orang lain. Aku juga percaya, kau akan menjaga kesejatian dirimu. Aku pun akan menyembuhkan diri dan menyiasati keinginan-keinginan yang tidak wajar di dalam dadaku. Juga, akan tetap menjaga janji untuk belajar pada apapun, pada siapapun. Tentu saja, aku akan tetap menjaga diri tanpa rasa takut pada apapun.
Bila hatimu tidak kunjung membaik, kita serahkan kembali pada semesta. Biar semesta lagi yang menentukan kebaikan macam apa untuk kita.
Dan bila kita dipertemukan kembali entah di mana dan pada purnama keberapa, barangkali itulah jawabannya. Saat hal itu terjadi, mari jangan berbalik lagi. [Serang, 30 Mei 2016]
P.S: Jangan lupa makan dan hati-hati di jalan.
0 Comments