Film dan Kreativitas Anak Muda Banten
filmmakeriq.com |
Selasa malam (5/4/2016), ruang meeting basecamp Komunitas Banten Muda yang tidak seluas kamar mandi Paris Hilton itu mendadak sesak. Peserta diskusi sampai bergelaran tikar di ruangan sebelah—perpustakaan dan ruang kerja. Kedatangan Komunitas Kremov Pictures (selanjutnya disingkat KKP), rupanya menarik perhatian warga komunitas lain seperti Kubah Budaya, Gesbica, dan Komunitas Jawara untuk turut hadir dalam diskusi malam Rebo bernama “Ngawadang” itu.
Kedatangan para pemuda dari berbagai komunitas itu, tentu saja menyenangkan sesepuh Banten Muda yang cuma merasa muda. Tampak hadir Ali Faisal, Mahdiduri, Fikri Habibi, Rizal Fauzi dan Niduparas Erlang. Begitu pula puun Irvan Hq yang mengaku baru sampai di Serang. Buah tangannya dari Medan ia buka dengan suka cita, bahkan babang nasi goreng yang sedang berkeliling itu pun ia berhentikan. Apalagi, jika bukan untuk menjamu para pemuda yang sering lapar itu. Bintang tamu malam itu, KKP yang santun pun tidak mau ketinggalan dengan buah tangannya. Buah-buahan dan minuman soda dibuka di meja.
Dalam diskusi malam itu, Darwin Mahesa sebagai puun KKP bercerita tentang lika-liku kehidupan KKP. Sesekali, satu dan dua orang warga KKP lainnya pun menimpali. Sementara yang lainnya masih memiliki rasa malu.
‘Kegilaan’ KKP dan Film Terbaru
Melihat KKP sekarang, mungkin anda dan saya memiliki pemikiran yang sama. Komunitas pembuat film ini banyak duit. Lihat saja produksi film dari tahun 2007-2015 yang mencapai angka 18 film itu. Produktif sekali, kan? Belum lagi karya seperti video clip, theme song atau original soundtrack, dan lainnya. Pasti mereka tidak pernah merasakan kemelaratan sebuah komunitas!
Tapi siapa yang menyangka jika komunitas yang didirikan pada 15 Juni 2007 itu, pernah melarat juga. Darwin mengakui bahwa KKP pun pernah merasakan menyebar proposal dan berulang kali mendapat penolakan. Pernah mengajukan permohonan bantuan pada pemerintah dari tahun 2010 dan hingga tahun 2013 pun tidak direspon. “Dan kami sangat membenci pemerintah saat itu.” ujar Darwin sembari tertawa dan disambut tawa para pemuda lainnya.
Aha! Mereka juga rupanya pernah dibenturkan pada kalimat; ‘tidak memiliki anggaran’, sebagai satu-satunya jawaban basi atas penolakan proposal. Lalu, kenapa saya ikut tertawa juga? Ah sudahlah. Tawa saya tidak penting. Lebih penting lagi mengetahui cara KKP bisa hidup dan tetap memproduksi film.
Persamaan visi dan misi serta menjadikannya sebagai hobi merupakan nyawa komunitas ini. Di Banten, menurut Darwin, anggota KKP dalam sensus yang dilakukan pada gathering 2010, berada di angka 200 jiwa. Kesamaan hobi dan didukung sepenuhnya oleh semangat berkarya bersama, membuat komunitas ini menjadi komunitas film yang paling banyak memiliki karya di Banten.
Berbicara komunitas, pada akhirnya kita akan berujung pada konsistensi karya. Menurut Darwin, komunitasnya ini setiap tahun mewajibkan diri untuk membuat film. Komunitas yang sealiran dengan KKP pun—hanya memproduksi film—banyak dan terus bermunculan. Hanya saja ketidakjelasan tujuan—akan di ke manakan film yang telah dibuat itu?—membuat para komunitas film indie di Banten berjalan di tempat. Selain itu, ketiadaan alat menjadi masalah yang ditanggung setiap komunitas pembuat film. Seringkali ditemui kasus belum ada kamera, padahal esok shooting. Tapi, shooting harus tetap berjalan, bukan? Menyiasati kemelaratan dengan cara kreatif, merupakan kewajiban para pemuda pembuat film yang masih melarat seperti ini. Misalnya saja, dengan menggunakan fasilitas perekam di ponsel.
Kemelaratan itu sudah lewat, KKP kini telah berubah menjadi production house. Aliran pekerjaan yang lancar dan penghargaan-penghargaan, membuat komunitas ini semakin bersinar. Dari segi biaya produksi, Darwin membagi cara alternatif dan kreatif untuk menekan biaya produksi, yaitu dengan melakukan kerja sama. Baik dengan komunitas lain, pihak hotel—jika latar film memerlukan itu—dan dengan jaringan pertemanan. Begitu pula dengan aktor dan aktris yang berperan di film-film produksinya, didapatkan dari hasil kerja sama. “Lebih penting mengurusi apa yang dibutuhkan film, dibanding meratapi kemelaratan diri,” barangkali itulah inti dari pembicaraan Darwin.
Setelah film terpanjang yang digarap KKP selama 9 bulan, Jawara Kidul, dalam waktu dekat komunitas ini akan kembali menghadirkan film baru. Bocoran sementara ini, genre film yang akan diproduksi tahun ini yaitu dance movie alias film tarian yang dibalut dengan kisah percintaan. SILAPP (Shake it like a pom pom—Lirik Lagu Missy Elliot, soundtrack film Step Up 2), kurang ajar sekali obsesi komunitas ini! Keren sekali.
Selain film yang akan diproduksi dalam waktu dekat, komunitas yang memiliki dua kantor sekretariat yaitu di Cilegon dan Serang ini juga berbagi mimpi perihal produksi film yang masih disimpan. Saya pikir, komunitas ini benar-benar menjadi komunitas pembuat film yang loba kahayang (banyak maunya). Bagaimana tidak, mimpi mereka selanjutnya, yaitu memproduksi film Saija Adinda; legenda cinta yang dibuat Multatuli dalam novelnya yang berjudul Max Havelaar. Selain itu, komunitas ini juga ingin membuat film tentang Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai orang yang juga loba kahayang, tentu saja saya mendukung mimpi mereka.
Jika berbicara hasil produksi film KKP selama ini, buruk atau bagus itu hanya nilai dari selera seseorang. Apresiator atau kritikus film tentu saja membutuhkan nilai itu untuk menuntaskan tugas mereka. Ingat, mereka pun memiliki kepala kreatif dan perut untuk diberi makan. Sementara komunitas pembuat film, tentu saja tugasnya hanya harus mengerahkan kemampuan dengan maksimal untuk kebutuhan pembuatan film garapannya.
Bukankah di jagat raya ini tidak pernah ada yang bermimpi membuat karya yang buruk?
Komunitas Apresiator dan Ruang Putar Film
Selain komunitas pembuat film seperti KKP, ada juga komunitas apresiator film yang kegiatannya hanya menonton film dan menulis review dari film yang ditonton. Terkadang, saya iri pada provinsi-provinsi lain yang memiliki begitu banyak venue untuk ruang putar. Coba saja tengok ruang putar di Jakarta. Sebagai ibu kota, Jakarta memiliki banyak sekali ruang putar film. Sebut saja, Kineforum yang bernaung di bawah Dewan Kesenian Jakarta. Program Sinema Rabu di kafe Paviliun 28, tempat kongkow yang memiliki bioskop mini berkapasitas 30 orang. Komunitas Salihara juga sering menjadi tempat menonton film. Galeri Bawah Tanah, komunitas yang memiliki program Street Film Festival atau menonton film di ruang publik. Coffee War komunitas yang memiliki Program menonton film bernama Bioskop Merdeka. Komunitas TROTOARt yang bekerja sama dengan ruangrupa dengan mengadakan Gerobak Bioskop. Serta Forum Lenteng, komunitas yang memiliki program Sinema Dunia.
Selain itu, ruang putar milik pusat kebudayaan asing juga banyak di Jakarta. Misalnya saja, Goethe Institut yang memiliki program menonton film bertajuk Arthouse Cinema dan program tahunan yang bertajuk Jerman Fest. Pusat Kebudayaan Prancis, Institut Français d'Indonésie (IFI) Jakarta, sering mengadakan pemutaran film dan menerima tawaran kerja sama dengan komunitas lain untuk mengadakan pemutaran film di venue mereka. Acara tahunan mereka Festival Sinema Prancis, sering menghadirkan film-film pendek Indonesia. Lembaga kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, juga aktif menyelenggarakan berbagai acara. Tidak tanggung-tanggung, ada dua festival film besar yang diselenggarakannya yaitu Erasmus Documentary Film Festival dan Europe on Screen. Begitu pula dengan pusat kebudayaan asing lainnya, seperti Jepang, Korea dan pusat kebudayaan asing lainnya.
Bandung memiliki Taman Film. Siapapun yang datang bisa menikmati film tematik dengan gratis. Selain taman film, Bandung memiliki tempat lain yang menjadi tempat menonton film seperti venue milik Institut Français d'Indonésie (IFI) Bandung, Moviestation milik perpustakaan swasta untuk umum bernama Kineruku dan tempat lainnya. Yogyakarta memiliki Taman Budaya Yogyakarta yang sering digunakan tempat pertunjukan seni. Pemutaran film biasanya diadakan di Gedung Societe Militaire. Selain itu, ada Forum Film Dokumenter (FDD) yang khusus memutar film-film dokumenter Indonesia dan dunia. Setiap bulan, mereka mempunyai acara menonton film bertajuk ScreenDocs!. Acara tahunan terbesarnya yaitu Festival Film Dokumenter, sering menjadi tempat mejeng para pembuat film dan penikmatnya. Makasar, Surabaya dan kota-kota lainnya juga bergeliat dengan tempat putar film dan keseniannya.
Banten Punya Apa?
Pertanyaan ini terbersit di pikiran saya. Melihat saat ini, sebagai kota provinsi, Serang masih belum memiliki inisiatif untuk membuat dirinya seksi. Bahkan kini, alun-alun Serang sebagai pusat kota begitu mengerikan—jika tidak ingin dikatakan menjijikkan.
Komunitas apresiator di Serang memang tidak setenar komunitas pembuat film. Para apresiator ini ada dalam tubuh komunitas yang menggeluti bidang kreatif lainnya, seperti sastra, musik, tari, teater dan lainnya. Dari merekalah kemudian tercipta acara-acara nonton bersama. Entah di basecamp sendiri dengan peralatan seadanya; laptop, sound system dan invocus pinjaman dengan tembok sebagai white screen, maupun meminjam tempat di Perpusda Banten, Museum Negeri Banten dan Aula kampus.
Bagi komunitas apresiator dan komunitas pembuat film ini, spot menonton seperti Taman Film di Bandung itu merupakan mimpi tak habis-habis. Apalagi bila benar, areal Museum Negeri Banten segera disahkan menjadi Taman Budaya Banten dan bukan omong-omong di atas podium saja. Spot menonton film berada di antara spot lain seperti panggung teater, panggung musik, panggung tari dan lainnya.
Aih! Memikirkannya saja sudah terasa sangat seksi. Rasanya, Serang ini benar-benar bisa menjadi ibu kota provinsi yang layak huni. [*]
*Uthera Kalimaya, penikmat kopi yang aktif di Kubah Budaya.
(Radar Banten, 28 April 2016)
0 Comments