Bim Atau Petak Umpet
Sudah lama tidak berbicara denganmu. 'Apa kabar?' sepertinya bukan kalimat yang bagus untuk memulai percakapan. Meskipun sudah lumrah ditanyakan setelah sekian lama tidak ada perjumpaan. Karena lumrah itulah, jawabannya pun menjadi standar, biasanya perihal kesehatan atau perasaan; baik dan tidak baik. Kesibukan atau kegiatan. Kesantaian jarang sekali dijadikan jawaban, hingga si yang bertanya kemudian menanyakannya; 'sibuk apa sekarang?'
Bagi yang sibuk atau memiliki banyak kegiatan atau pekerjaan, itu pasti dianggap jawaban yang lumrah pula. Mereka akan memberitakan sebagian kegiatannya dan agak spoiler juga. Tapi, pertanyaan itu akan sama dengan pertanyaan 'kapan nikah' pada si jomblo, bila orang yang ditanya itu tidak memiliki kegiatan apapun atau pengangguran.
Karena itu, aku tidak ingin menanyakannya. Aku ingin menanyakan satu pertanyaan yang akan kau jawab dengan seluruh peristiwa yang selama ini terjadi. Tapi, jangan berbohong. Bukankah itu pula yang dulu pernah kau katakan padaku? Berbohong bisa menjadi salah satu kelainan jiwa, apalagi kebohongan yang terus ditumpuk. Kau tahu bukan, apa akibatnya bila seseorang ketahuan berbohong dan kita mendesaknya untuk jujur? Perubahan sikap, ilfil, atau menghindar. Itu lumrah saja, sih. Meskipun menurutku tidak mesti melakukannya. Anehnya, setiap dari kita selalu melakukannya. Bukankah itu lucu?
Karena aku sayang padamu, maka akan kusilakan kau jujur saja. Kau tahu bukan, aku orang yang selalu memerhatikan tanda? Kau tidak bisa membohongiku, meskipun ketika kau melakukannya, aku akan berpura-pura mengiyakan. Bukan bermaksud menjerumuskanmu lebih dalam pada lubang 'bohong-berbohong' ini, tapi lebih kepada aku memercayai kau memiliki alasan membohongiku. Itulah kenapa aku marah. Marah pada diriku sendiri karena membuatmu berbohong.
Jujur saja, sekarang aku tidak percaya diri. Aku tidak enak mengganggu seseorang, bahkan jika orang itu adalah dirimu. Kau ingat ketika aku tidak makan tiga hari dan kau marah-marah ketika mengetahuinya? Saat itu kau datang dengan kotak berisi makanan rumahan. Ikan asin kesukaan, semur jengkol kebanggaan, rendang, dan masakan lain yang tak bisa kuhitung berapa harganya jika kau membeli semua itu di rumah makan. Tapi, aku tahu kau tidak akan sembarangan membawakanku makanan, jika bukan kau yang membuat, pastilah ibumu. Eh, apa kabar ibu? Apa ia masih suka menyanyikan I Surrender-nya Celine Dion sambil merentangkan tangan ke arah ayahmu?
Karena aku sayang padamu, maka akan kusilakan kau jujur saja. Kau tahu bukan, aku orang yang selalu memerhatikan tanda? Kau tidak bisa membohongiku, meskipun ketika kau melakukannya, aku akan berpura-pura mengiyakan. Bukan bermaksud menjerumuskanmu lebih dalam pada lubang 'bohong-berbohong' ini, tapi lebih kepada aku memercayai kau memiliki alasan membohongiku. Itulah kenapa aku marah. Marah pada diriku sendiri karena membuatmu berbohong.
Jujur saja, sekarang aku tidak percaya diri. Aku tidak enak mengganggu seseorang, bahkan jika orang itu adalah dirimu. Kau ingat ketika aku tidak makan tiga hari dan kau marah-marah ketika mengetahuinya? Saat itu kau datang dengan kotak berisi makanan rumahan. Ikan asin kesukaan, semur jengkol kebanggaan, rendang, dan masakan lain yang tak bisa kuhitung berapa harganya jika kau membeli semua itu di rumah makan. Tapi, aku tahu kau tidak akan sembarangan membawakanku makanan, jika bukan kau yang membuat, pastilah ibumu. Eh, apa kabar ibu? Apa ia masih suka menyanyikan I Surrender-nya Celine Dion sambil merentangkan tangan ke arah ayahmu?
Bim, apa yang ada di kepalamu sekarang?
Kau tahu? Hingga saat ini, aku belum memutuskan kalimat apa yang pertama kali aku ucapkan padamu. Karena itu, ketika kau meneleponku, aku tidak mengangkatnya. Bagaimana bisa aku mengangkat telepon darimu, sementara aku tidak memiliki kalimat apapun di kepalaku?
"Hai...," dengan sangat canggung. Atau "Caelaah, sekarang cakepan lu?" dengan gaya gadis cerewet yang dulu kau kenal. Tapi, aku malu. Sekarang aku sudah tidak secerewet itu lagi. Aku lebih banyak diam. Aku sekarang lebih banyak melihat ke tanah, sehingga kurang hapal pada wajah orang-orang. Karena itu, maukah kau yang menyapaku terlebih dahulu? Maukah kau yang mengulurkan tangan terlebih dahulu?
Aku sudah duduk di sini selama dua jam. Aku menunggumu. Tapi, aku tahu kau pasti tidak tahu aku berada di sini dan menunggumu. Dulu, kau selalu mengomeliku saat aku mengatakan bahwa aku sedang menunggu seseorang. Meski aku tidak memberitahunya. Kemudian, kau yang datang saat itu sembari berkata; "perempuan macam apa yang menunggu seseorang, tapi tidak memberitahu orang itu?"
Perempuan sepertiku. Perempuan yang percaya pada naluri dan reaksi alam. Perempuan yang menganggap bahwa jika dua jiwa sudah memiliki keterhubungan, maka dimana pun ia menunggu dan sedang apapun seseorang yang ditunggunya itu, mereka akan bertemu. Aku melakukannya lagi kali ini. Tapi bukan untuk orang lain.
Jika naluriku benar, malam ini kau akan datang. Entah sebagai kebetulan, atau kesengajaan. Tapi, jika benar yang berdiri di hadapanku malam ini adalah kau. Bolehkah aku menanyakan ini:"Apa kamu sudah memutuskan mencintaiku?" [*]
Kau tahu? Hingga saat ini, aku belum memutuskan kalimat apa yang pertama kali aku ucapkan padamu. Karena itu, ketika kau meneleponku, aku tidak mengangkatnya. Bagaimana bisa aku mengangkat telepon darimu, sementara aku tidak memiliki kalimat apapun di kepalaku?
"Hai...," dengan sangat canggung. Atau "Caelaah, sekarang cakepan lu?" dengan gaya gadis cerewet yang dulu kau kenal. Tapi, aku malu. Sekarang aku sudah tidak secerewet itu lagi. Aku lebih banyak diam. Aku sekarang lebih banyak melihat ke tanah, sehingga kurang hapal pada wajah orang-orang. Karena itu, maukah kau yang menyapaku terlebih dahulu? Maukah kau yang mengulurkan tangan terlebih dahulu?
Aku sudah duduk di sini selama dua jam. Aku menunggumu. Tapi, aku tahu kau pasti tidak tahu aku berada di sini dan menunggumu. Dulu, kau selalu mengomeliku saat aku mengatakan bahwa aku sedang menunggu seseorang. Meski aku tidak memberitahunya. Kemudian, kau yang datang saat itu sembari berkata; "perempuan macam apa yang menunggu seseorang, tapi tidak memberitahu orang itu?"
Perempuan sepertiku. Perempuan yang percaya pada naluri dan reaksi alam. Perempuan yang menganggap bahwa jika dua jiwa sudah memiliki keterhubungan, maka dimana pun ia menunggu dan sedang apapun seseorang yang ditunggunya itu, mereka akan bertemu. Aku melakukannya lagi kali ini. Tapi bukan untuk orang lain.
Jika naluriku benar, malam ini kau akan datang. Entah sebagai kebetulan, atau kesengajaan. Tapi, jika benar yang berdiri di hadapanku malam ini adalah kau. Bolehkah aku menanyakan ini:"Apa kamu sudah memutuskan mencintaiku?" [*]
0 Comments