Untuk Jung, Lelakiku
Jung, lelakiku. Rasanya hari ini aku sedang berada di limbo, tepi neraka. Lebay? Baiklah. Kamu boleh tertawa. Tapi maaf, aku sedang terlalu serius saat ini. Beberapa waktu lalu kamu mengibaratkan seekor siput yang berganti rumah. Kali ini, boleh dikatakan aku menjadi daun yang melayang tanpa bisa menyentuh tanah.
Jung, seperti yang kamu tahu, aku orang yang percaya aksara tulis. Bukan yang terucap. Meski kini aku limbung. Entah mana yang harus aku percaya. Ucapanmu atau tulisan ibu jarimu? Rasanya, masih terngiang apa yang kamu ucapkan di jalan pulang. Kelimbungan kita, busuknya luka ke luka lain di hari belakang yang begitu pekat di udara dan terasa pahit di lidah. Saat itu, aku sibuk mencerna setiap kata, mengeratkan genggaman dan kita saling mengirim tanda; untuk tetap tinggal; untuk tetap kuat. Tapi maafkan aku, mataku tidak bisa berkompromi dan tidak bisa berhenti berair hingga pagi datang dan kembali menjadi malam. Tapi, apa yang kamu tulis itu, Jung?
Jung lelakiku, saat ini aku masih berharap Tuhan sedang bermain dadu. Kamu yang sedang memegang kotak dan mengocoknya berkali-kali hingga kamu siap melemparkan angka terbaik untuk kita. Entah angka berapa yang jatuh, entah siapa yang paling keras mengaduh.
Jung, bolehkah aku egois kali ini? Aku ingin menitipkan urusan hatiku ini padamu. Bukan pada orang yang tidak mengerti lelahnya menjadi aku. Meskipun ratapanku tidak enak dibaca dan tidak diterima akal sehat. Kamu juga lelah, bukan? Bisakah kita saling menguatkan? Sebab untuk menjadi rela dan ikhlas
itu membutuhkan waktu yang amat
panjang. Kita sama-sama tahu, betapa lelahnya menguatkan diri sendirian.
Jung, lelakiku. Mengingat kembali tujuan awal, rencana ke rencana kita,
nyeri itu berubah menjadi takut. Apa kita bisa menyelesaikannya?
Menelusur dan mereka ulang apa yang terkubur di belakang? Rasa bersalah
rasanya makin mencekik saja. Bisakah kita melakukannya lagi? Bisakah
kamu membangunkanku lagi setelah ini?
Jung, ketika kamu memintaku untuk tidak membencimu. Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak sekaligus menangis tersedu di saat yang sama. Bagaimana bisa aku membenci orang yang aku cintai? Kamu lupa, kenapa aku mendadak menangis dan merasa sakit yang begitu asing sebelum ini? Mungkin itu awal, sebab pada akhirnya akulah kuku kelingking yang memanjang dan bisa dengan mudah kamu potong itu. Aku salah, bukan bau kematian yang kucium saat itu. Tapi penyesalan yang tak akan pernah selesai hingga berabad.
Jung, lelakiku. Bagaimana sekarang? Bisakah kita melarikan diri untuk duduk dan bicara berdua saja? Ah, perihal nama lainmu ini, julukan ini, akan kujelaskan di hadapanmu.
(Serang, 18 Maret 2017)
0 Comments