Secangkir Cokelat Panas Sebelum Kau Pergi
"Kenapa kau menyukai kopi?"
Tanyamu suatu sore. Kau menatapku dengan mata berbinar, seolah kau benar-benar ingin tahu alasanku. Saat mata beradu, penyakit lamaku kambuh lagi. Dadaku berdebar kencang, waktu seakan terus memburu, dan rasanya aku ingin mengajakmu berlari saja. Tapi, tak urung kujawab juga pertanyaanmu. Meskipun berulang kali harus kugaruk dahiku, akibat letupan di perut yang seolah mengajak berlari itu. "Umh...," Kugaruk kembali dahi sialan ini. "Entahlah, aku tidak memiliki alasan yang berarti. Suka saja begitu. Boleh kan, alasannya seperti itu?"
Keningmu mengernyit. Pun bibir tembakaumu itu. "Tentu. Karena banyak hal terkadang tidak membutuhkan alasan. Meskipun banyak juga yang bilang, walaupun tidak masuk akal, kau harus tetap memiliki alasan," ujarmu.
Sesaat, hening menyela di antara kita. Kulihat kau sibuk dengan ponsel, mengetik sesuatu, kemudian kembali menatapku.
"Kau pernah merasa harus pergi?" Tanyamu tanpa melirikku.
"Hmm, tentu," ucapku tanpa ragu. Meski lonceng di dalam diriku berbunyi nyaring menandakan kepergian akan segera tiba. "Kenapa? Apa kau sedang bersiap pergi?" Tanyaku. Kutatap wajahmu dari sisi yang paling kusuka itu. Kau pasti lupa bercukur lagi.
"Hmm. Tidak juga. Apa kau ingin aku pergi?" Kamu melirikku. Tatapan mata kita beradu. Kamu sedang berbohong, bukan? Kamu hanya tidak ingin aku terluka, bukan?
"Entahlah. Kalau kau merasa harus pergi, pergilah. Aku bukan seseorang yang bisa menahan kepergian," ujarku lebih kepada diriku sendiri. Dahimu mengernyit.
"Benarkah? Kamu tidak bisa mengatakan sesuatu agar aku tetap tinggal?" Kau terdengar seperti bayi besar yang penasaran.
"Kenapa aku harus mengatakannya ketika kau sendiri sudah bersiap pergi? Aku tidak bisa melarang kepergian siapapun," suaraku terasa bergetar. Perasaanku terasa melayang entah kemana. Untuk menutupinya, kurapatkan sweater hadiah ulang tahun yang kau kirim khusus beserta novel dari novelis favoritku. Kau sudah melemparkan pandangan ke gugusan pegunungan di hadapan. Udara makin terasa mencucuk di tulangku. Aku tahu, kau sedang menimbang kepergian. Aku harap, kau tidak memberi alasan tidak masuk akal ketika kau memilih tetap tinggal. Setidaknya, aku mohon jangan karena alasan aku yang penyakitan. Itu sangat menyakitkan.
"Masuk, yuk? Kau sudah mulai kedinginan," katamu sembari beranjak. Tanganmu terjulur. Dengan sedikit ragu, aku menerima uluran tanganmu. "Aku tidak akan pergi, tenang saja," bisikmu sembari merangkul bahuku dan mengecup puncak kepalaku.
"Iya, setidaknya bukan hari ini. Karena aku tidak tahu jalan pulang dari tempat ini," ujarku dengan nada menggerutu. Kau tertawa.
"Dengar, aku benar-benar tidak akan pergi kemana pun. Karena aku tahu di dalam hatimu yang sok tegar itu, kamu melarangku untuk pergi. Karena itu aku akan tinggal di sampingmu. Boleh?"
"Tidak. Kau pergi saja. Aku sudah sebal padamu. Minggir, aku mau ke kamar,"
"Yah, yah, maafkan aku."
"Tidak mau."
"Aku buatkan cokelat panas?"
"Emh-emh..." aku menggelengkan kepala.
"Iya deh, sama biskuit kesukaanmu itu juga."
Dan nyatanya kau tetap harus pergi. Meski aku tidak pernah siap merelakan setiap kepergian. Bahkan kepergianmu yang sudah kuketahui jauh sebelum hari itu. Ketika hari itu semakin dekat, aku pikir, aku hanya akan menyaksikan dari balik bangsalku saja. Tapi, rupanya kau memiliki cara terbaik untuk pamit.
0 Comments