Sudran Tak Jadi Mati
Kesepian itu kini telah menjadi kulit arinya, menjadi rambut di tubuhnya. Hingga ia bergerak memintal tali dan menggantungnya di pintu kamar mandi. Sebuah kursi ia tempatkan di bawahnya.
Seusai mengaitkan tali, ia pergi masuk ke kamar mandi; berwudhu untuk dua kali rukuk—entah salat apa. Setelahnya, ia mendekati kursi dan segera menaikinya. Sebelum mengalungkan tali, ia tengadahkan tangan, bibirnya yang tak pernah mencicip tembakau itu komat-kamit. Setelah itu, tangannya mulai meraih tali dan mengalungkannya. Tapi, sebelum sempat ia meloncat dan menendang kursi, cicak di palang itu kamarnya bersuara; cek, cek, cek. Saat itulah, ia merasa sesuatu jatuh dan menimpa kepalanya.
Seketika itu, ia menengadah. Tangannya mengusap kepala. Secuil berak cicak menempel di jemarinya. Tapi matanya seolah melihat setumpuk berak cicak di sana. Semakin lama, semakin banyak. Cicak-cicak di atas kepalanya seolah bergantian berak di telapak tangannya. Padahal sebenarnya, cicak yang semula di atas kepalanya sudah terbirit ke dinding, ke langit-langit kamar yang diterangi lampu temaram.
Ia benci binatang melata itu, sebenci ia pada ayahnya. Muasal ia membenci binatang itu, tidak berbeda dengan alasan ia membenci ayahnya. Dulu, sewaktu ia masih berusia lima tahun, binatang itu pernah dijejalkan ayah ke mulutnya. Konon, binatang itulah yang bisa menyembuhkan penyakit kulit dan asma yang ia derita. Walaupun memang, saat itu cicaknya telah dimasak, tapi setelah kejadian itu ia selalu merasakan binatang itu melata di tenggorokannya, di perut, di kepala dan darahnya.
[Cerpen ini terbit di majalah Kandaka, Badan Bahasa Provinsi Banten 2017 dan sedang dalam proses editing untuk penerbitan bersama cerpen lainnya]
0 Comments