May Day Babi Babi Sangiang Roadshow Cilegon
Kami akan menggelar pementasan pada perhelatan dan nuansa Mey Day di Cilegon. Pembacaan kami pada Mey Day 2018 dilandasi persoalan korporat yang bergerak dengan sistem kapitalisme kokoh serta bersembunyi di balik sistem pemerintahan yang korup dan tak segan menanam benih permusuhan di tataran akar rumput.
Pulau Sangiang adalah contoh dari arena kongkalikong antar sistem itu sebab begitu banyak persoalan yang tak kunjung usai. Mulai dari persoalan kecil di antara sesama masyarakat, kepentingan pemerintah daerah dan pengusaha, menyangkut kebijakan nasional, hingga medan pertarungan global. Berbagai-bagai persoalan itu seperti bertumpuk-kusut dan karut-marut, yang tentu saja memerlukan perlakukan secara khusus dan berkesinambungan untuk dapat menyelesaikannya.
Pembacaan tersebut hanyalah upaya kami untuk menangkap memori kolektif warga dalam menghadapi masalahnya, dengan harapan bisa meracik-wujudkan menjadi teks dramatik dan laku metaforik di atas panggung.
Tilikan Masalah Sangiang
Menurut tilikan kami, muasal terjadinya perebutan lahan antara PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) dengan warga Sangiang adalah karena perubahan status pulau.
Menurut penuturan warga, pulau Sangiang adalah sebentuk hadiah bagi warga Lampung yang diperintahkan tinggal dan membantu pemerintahan Banten pada era kesultanan. Perintah itu datang dari pemimpin mereka, Ratu Darah Putih, yang memang memiliki hubungan baik dengan Sultan Banten. Konon, sejak saat itu, pulau Sangiang menjadi hak milik warga Banten asal Lampung, yang sebagiannya kini bermukim di kampung Lampung Sai Anyer.
Hingga masa kolonial Belanda, pulau Sangiang masih dimanfaatkan oleh warga untuk bermukim dan berladang. Namun, ketika datang masa pendudukan Jepang, pulau itu digunakan sebagai landasan pesawat model Amfibi—semacam pesawat pengintai kapal-kapal musuh yang masuk ke wilayah Selat Sunda. Pada masa Jepang inilah, warga Sangiang meninggalkan pulau dan mengungsi ke Anyer.
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, hingga berakhirnya era pemerintahan Orde Lama pada 1965, tak banyak yang tahu mengenai kondisi pulau Sangiang. Hingga kemudian, pada era Orde Baru, status pulau Sangiang menjadi milik negara dengan lebel Cagar Alam. Tak selesai sampai di situ, status Cagar Alam Pulau Sangiang kemudian malah berubah menjadi Taman Wisata Alam Laut. Pada saat alih fungsi inilah, terjadi banyak peristiwa yang membuat resah warga Pulau Sangiang. Bagi mereka, melakukan perlawanan terhadap kesewenangan perubahan status Pulau Sangiang, bukanlah sebuah solusi. Tapi, diam saja pun membikin mereka seperti sedang menjerumuskan diri ke dalam sumur sakit hati. Akhirnya, mereka hanya bisa bersikap pasrah.
Seolah menemu terang, pihak birokrat dan penguasa memanfaatkan keluguan masyarakat pulau Sangiang yang tidak melakukan perlawanan itu, untuk melalukan transaksi secara sepihak. Berbagai isu pun muncul, salah satunya adalah isu yang menyebutkan bahwa pulau Sangiang akan menjadi titik penguat pondasi bagi Jembatan Selat Sunda yang akan menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Entahlah. Yang pasti, jika proyek Jembatan Selat Sunda itu benar terealisasi, warga Pulau Sangiang merupakan hambatan bagi “para mafia” megaproyek yang sekadar mengatasnamakan pembangunan nasional. Karenanya, para mafia pembangunan membutuhkan pion-pion yang mampu memanipulasi data, mengotak-atik hak atas tanah Pulau Sangiang, sampai apa yang mereka inginkan tercapai.
Lalu, bagaimana nasib warga Sangiang saat ini?
Menurut info yang kami peroleh, ada tiga warga Pulau Sangiang yang dipolisikan karena dituduh memasuki pekarangan rumah investor. Padahal, sejatinya pekarangan tersebut adalah bagian dari rumah dan kebun warga Sangiang sendiri.
Bukan hanya itu, investor Pulau Sangiang juga memanfaatkan binatang seperti babi hutan, ular kobra, dan tupai, yang ditengarai sengaja dilepas-sebarkan di Pulau Sangiang. Tujuannnya hanya satu: mengusir warga Pulau Sangiang tanpa mengotori tangan mereka sendiri.
Teks yang Dikebiri Laku Metaforik
Peristiwa Sangiang yang kami temukan dari lisan warga dan para aktivis yang mendampinginya, tampak mengandung kekesalan yang meluap-luap. Dari cara mereka menuturkan berbagai peristiwa itu, tampak bahwa selama ini pendapat mereka terdistorsi oleh sistem otoriterian dan korup, hingga luapan kekesalan mereka seolah begitu liar sebab menemukan pendengar bagi kebebasan mereka berpendapat. Teks-teks pun membuncah, memantul ke segala arah, menggapai apa saja yang ada di dekatnya, merambah apa pun dan siapa pun. Maka, kesan yang kami temukan adalah tubuh jungkir-balik, keyakinan yang lekas punah dan berubah-ubah, namun menyimpan harapan dengan menempuh berbagai cara untuk mendapatkannya.
Dari tubuh jungkir-balik dan keyakinan yang berubah-ubah itulah, kami mengebiri laku wajar manusia yang kami anggap sebagai metafora pemanggungan, yang terus kami cari-temukan lewat latihan dengan teknik tubuh mekanik, telaah wacana, mengapresiasi sikap warga, dan kritik terhadap berbagai peristiwa yang telah dan masih saja terjadi di Pulau Sangiang. [*]
Peri Sandi Huizche
Niduparas Erlang
Lab. Banten Girang
0 Comments