Yuk! Napak Tilas 3 Situs Purbakala di Banten
Founding father negeri ini, Soekarno, dalam pidato di Hari
Ulang Tahun Republik Indonesia pada 17 Agustus 1966, mengatakan bahwa jangan
sekali-kali melupakan sejarah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Dalam
pidato terakhirnya sebagai presiden, Bung Karno tidak hanya mengulas soal
langkah politiknya, juga mengingatkan kita pada filosofi sejarah. Tentu saja,
karena sejarah bisa menjadi cermin atas apa yang telah terjadi, sekaligus
petunjuk langkah di masa mendatang.
Nah, untuk lebih mengenal Banten dan untuk melihat bentuk
dari pembacaan sebelumnya, saya ikut menelusuri situs bersama Kuncen Banten
Girang, Abah Hasan (73), anggota Komunitas Benih Tumbuh, Laboratorium Banten
Girang dan Reading Club Balai Pelestarian Cagar Budaya.
Mau tahu kemana saja tim napak tilas ini pergi? Berikut
ulasannya.
1. Situs Menhir Batu Lingga Baros
Menhir Batu Lingga terletak di kampung Lingga, Baros.
Tepatnya kurang lebih 50 meter dari jalan raya. Kamu harus jalan kaki melewati
rumah penduduk, menerobos pagar alam yang dibuat penduduk dan tentu saja
berjalan di galangan sawah. Hal ini disebabkan belum adanya akses jalan yang
memadai menuju situs peninggalan zaman megalitik itu, urbaners.
Secara keseluruhan, ada 7 batu Lingga di tengah pesawahan
itu. 3 batu dengan komposisi 1 dan 2 batu dinaungi saung atau gazebo dan diberi
pagar besi. Sementara 4 batu lainnya hanya dipagar besi saja. Ketujuh batu itu
memiliki ukuran dan posisi yang berbeda, urbaners. Ada yang berdiri tegak, ada
yang agak miring. Dikutip dari catatan Balai Pelestarian Cagar Buday (BPCB)
Banten, ukuran tinggi menhir untuk batu I memiliki ketinggian 157 cm dengan
diameter 195 cm. Batu II memiliki ketinggian 110 cm dengan diameter 170 cm.
Batu III memiliki ketinggian 123 dengan diameter 180 cm. Batu IV dengan
ketinggian 116 dan berdiameter 175 cm. Batu V memiliki tinggi 140 cm dan
diameter 152 cm. Batu VI memiliki tinggi 122 cm dengan tinggi 148 cm. Batu VII
memiliki ketinggian 195 cm dengan diameter 191 cm.
Menurut Abah Hasan, batu Lingga ini merupakan peninggalan
zaman sebelum adanya kerajaan. Saat itu, manusia sedang gencar-gencarnya
mencari Tuhan. “Di zaman itu, manusia menganggap hewan besar dan perempuan
cantik merupakan milik Tuhan. Di tempat inilah mereka melakukan persembahan,”
ujar Abah Hasan. Ia pun kemudian memeragakan cara yang dipakai untuk melakukan
persembahan. Hewan besar atau perempuan cantik diikat ke batu Lingga hingga
mereka meregang nyawa. Meskipun
demikian, menurut lelaki yang telah 12 tahun menjadi Kuncen Banten Girang ini,
persembahan itu bersifat suka rela dan bukan paksaan. Hal ini dikarenakan ada
anggapan bahwa para perempuan cantik itu akan langsung bersanding dengan Tuhan,
dan membawa keberkahan bagi keluarga.
Menurut cerita masyarakat sekitar, di lokasi Batu Lingga ini
merupakan tempat adu kesaktian antara Sultan Maulana Hasanudin dan Prabu Pucuk
Umun dengan media ayam jago. Ada pula yang mengatakan bahwa batu yang konon
dilindungi ular naga ini, terdapat harta karun. Bahkan ada pula yang percaya
bila duduk di atasnya, maka segala keinginan akan terkabul.
Kamu pasti bertanya-tanya, bahkan mungkin tidak
mempercayainya, kan? Bagus itu, gaes. Itu artinya kamu juga akan melakukan
kajian dari bidang yang kamu kuasai untuk kemudian didiskusikan. Bukankah ini
keren?
2. Situs Patapan
Situs purbakala lainnya yaitu Situs Patapan. Situs yang
berada di Kampung Parapan Pasir, Desa Nagara, Kecamatan Kibin ini berada di
dataran tinggi, dan dilindungi kawat berduri yang berkarat untuk memisahkan
jalan raya dengan areal situs. Selain pagar itu, di area situs pun dilapis dua
pagar lagi, urbaners. Satu pagar kawat dan lainnya pagar Ada jalan setapak yang
bisa kamu jejaki menuju ke situs itu.
Area situs pohon tua nan besar dengan akar-akarnya yang
mencuat seolah melindungi area punden yang terdapat batu pelinggih, lapik atau
altar itu. Banyak dugaan untuk situs ini, urbaners. Beberapa mengatakan bahwa
Situs Patapan merupakan peninggalan tradisi megalitik karena bentuknya berupa
punden berundak. Ada pula yang menduga bila bangunan situs ini lahir pada zaman
berikutnya.
Menurut Abah Hasan, area ini merupakan area pantau. “Daerah
di bawah itu, dulunya lautan. Perahu-perahu yang masuk dipantau dari atas
sini,” ujarnya.
Penjelasan lelaki yang memiliki 21 cucu itu, sontak membuat
beberapa orang mengingat kembali catatan yang dibuat oleh Tome Pires mengenai
kunjungannya di daerah Banten pada tahun 1513. Tom Pires menyebutkan bahwa pada
masa Hindu di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, Cheguede (Cikande) merupakan
sebuah kota dagang. Barang dagangannya sama dengan Banten dan Pondang
(Pontang).
Sementara menurut cerita rakyat yang beredar di sekitar,
menyebutkan bahwa situs Patapan dibangun ketika masa Kesultanan Banten. Situs
itu digunakan untuk tempat bertapa atau bersemedi. Ada pula yang mengatakan
bahwa tempat itu digunakan para ulama dan santri untuk menyiarkan agama Islam.
Sedangkan cerita lainnya menyebutkan bahwa situs ini berhubungan dengan
penguasa Banten Girang, Prabu Pucuk Umun. Pada saat itu diceritakan bahwa Prabu
Pucuk Umun dan para pengikutnya sedang membuat meja dan kursi untuk tempat
bermusyawarah. Namun Sultan Banten mengetahuinya dan berniat menangkapnya.
Prabu Pucuk Umun pun melarikan diri dengan melompat ke Rawa Ciateul dan
menghilang. Tempat melompatnya Prabu Pucuk Umun kala itu, saat ini disebut
Kampung Bunian.
Tapi, bukan bendungan baru yang sering dijadikan tempat
nongkrong anak muda Pamarayan dan sekitarnya itu yang akan kita bahas,
urbaners. Kita akan bahas bendungan lama Pamarayan.
Pembangunan bendungan ini tidak lepas dari keberadaan irigasi
kecil yang dibangun Sultan Ageng Tirtayasa pada abad ke-17 yang disebut Kanal
Sultan. Kanal itu mengambil air dari kali Cidurian mengitari dataran rendah
Tanara. Di samping Kanal Sultan, ada irigasi kecil yang mengambil air dari kali
Cibongor, Cikawa, CIpare, Cicauk dan Cisaid. Irigasi ini untuk memenuhi
kebutuhan air di lahan pesawasan di sekitarnya dan lahan pesawahan lainnya
merupakan sawah tadah hujan.
Konon, untuk memenuhi kebutuhan air di dataran Banten Utara
dan meredam pergolakan yang terjadi di Banten kala itu, pemerintah Hindia
Belanda merencanakan pembangunan jaringan irigasi. Pengukuran topografi,
hidrometri dan pengumpulan data dasar pun dimulai pada tahun 1896. Sedangkan
pembangunannya dimulai pada tahun 1905 dengan luas daerah pelayanan sekitar 31
ribu hektar. Bendungan Pamarayan lama ini memiliki saluran induk kiri dengan
daerah oncoran sekitar 24 ribu hektar, sedangkan jaringan irigasi induk kanan
dengan daerah oncoran sekitar 7 ribu hektar.
Bendungan ini memiliki beberapa bagian bangunan yaitu saluran irigasi
dengan 10 pintu air dan diameter pintu kurang lebih mencapai 10 meter.
Untuk menggerakkan pintu air, pemerintah Belanda saat itu
menggunakan 10 rantai besar yang dikaitkan pada roda gigi elektrik yang
berjumlah 30 box dengan tipe masing-masing dan diletakan di bagian atas
bendungan. Selain itu, ada dua menara pantau yang berada di sisi kanan dan kiri
bendungan.
* Tulisan ini dibuat untuk bantenurban.com
0 Comments