Padang Bulan di Gunung Padang
Di kejauhan, anjing mengonggong bersahutan. Suaranya seperti datang dari sekeliling Gunung Padang. Gunung dengan tinggi kurang lebih 900 mdpl ini memiliki anak tangga yang panjang dan berkelok. Kurang lebih ada 200-an anak tangga yang baru belakangan ini dibuat. Tangga yang baru itulah yang kuinjak. Bukan tangga batu yang sejak dulu ada di situs megalitik ini.
Meskipun begitu, saya yang jarang nanjak, sudah tersenggal dari tadi. Sementara Kang Yusuf, tuan rumah tempat kami menginap dan yang bersedia mengantar saya, sudah beberapa tangga di depan. Di balik rimbun dedaunan, bulan mengintip. Saya matikan penerangan di ponsel, melihat apakah sinar bulan pun menerangi anak tangga di hadapan saya atau tidak. Rupanya memang benar, seperti purnama saja.
Sebenarnya, kenekatan saya naik di pukul 23.30 WIB ini, bukan untuk merasakan kemistisan tempat yang beberapa kali sempat saya lihat videonya di channel youtube. Bukan untuk uji nyali. Tapi lebih kepada berangkat dari pertanyaan iseng; bagaimana ya rasanya menikmati bulan di puncak Gunung Padang?
Apalagi sebelumnya, di halaman rumah panggung itu, anak-anak meributkan bulan yang muncul dengan warna oranye. Ditambah teteh, istrinya Kang Yusuf mengatakan bahwa bulannya masih bulat padahal bukan purnama. Ah, tentu saja, sejak awal menginjakan kaki di tanah ini, rasanya tangga itu memiliki tangan-tangan yang melambai dan mengajakku naik.
Alasan yang aneh, kan? Tapi saya mendadak beranggapan bahwa kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Apalagi jarak Rangkasbitung (tempat saya tinggal sekarang) ke Cianjur, sangat melelahkan. Kapan lagi bisa menikmati padang bulan di Gunung Padang? Meskipun purnama sudah lewat beberapa hari lalu.
Saat saya mengutarakannya, saya ajak juga Kang Kang Sandy, pupuhu Museum Kipahare. Namun, ia menolak untuk ikut. Kang Yusuf juga memberitai bila tamu juga banyak yang datang di malam hari. Di malam Minggu seperti ini pun ada saja tamu yang datang untuk bersemedi, bertirakat atau apapun itu. Jadi, tidak akan merasa sendirian karena banyaknya orang.
Sebelum pucuk tangga, sendal jepit biru yang saya pakai, sengaja saya buka. Ini cara saya untuk menghormati tempat yang disucikan oleh beberapa kalangan. Dan mungkin, menjadi tempat suci juga di zaman baheula-nya. Saya ucapkan salam dalam berbagai bahasa yang saya tahu. Assalamualaika..., sampurasun, svaha, dan lainnya. Salam juga adalah cara saya menyapa alam, barangkali, ini hanya sekadar prakiraan, alam pun menjawab salam yang saya ucapkan.
Kang Yusuf membawa saya ke bale riung yang dikelilingi batu berdiri. Di pintu masuknya terdapat batu yang lebih tinggi dengan lantai yang terbuat dari batu juga. Ada batu pancalikan di kiri dari pintu masuk. Menurut Kang Yusuf, di sinilah para pendahulu melakukan riungan entah belajar, atau mendengarkan ia yang duduk di batu pancalikan bicara.
Setelahnya, Kang Yusuf mengajak saya ke batu berbunyi. Batu gamelan Sunda, katanya. Ia memukul beberapa kali dan memang terdengar ada nada yang dihasilkannya. Meskipun di dekatnya ada tulisan
"Dilarang memukul-mukul semua batu yang ada di area situs megalit Gunung Padang". Tapi, saya rasa tidak apalah larangan itu dilanggar. Hihi.
Dari batu berbunyi, Kang Yusuf mengajak saya naik ke tempat lainnya. Gundukan batu di sebelah pohon yang masih muda itu, ia sebut sebagai tempat berkumpulnya para wali. Saya hanya ber-Ooh saja lalu menyusulnya naik ke tempat selanjutnya. Di dekat pohon Kimenyan itu, ada batu kujang.
"Biasanya, mereka bersemedi di sana, di sana, di sana juga, ah banyaklah. Penuh ini," ucap Kang Yusuf seolah meralat ucapan sebelumnya.
Saya hanya terus ber-Ooh saja. Sampai di bawah pohon Kimenyan yang dipagari 2 atau tiga utas kawat, Kang Yusuf mengulangi ucapannya. "Di sana pun biasanya ada yang bersemedi." Lalu, ia mengajak saya ke area batu kanuragan hingga akhirnya mengajak naik ke puncak kelima. Di sana, ada batu singgasana yang dikurung dua utas kawat. Plangnya tergeletak di sisi batu berdiri yang serupa sandaran.
"Kalau mau masuk, tidak apa-apa. Tapi hati-hati, ada kawat," ujar Kang Yusuf. Saya mengiyakan dan mulai ceriwis soal sepertinya asyik mengheningkan cipta atau semedi atau apalah itu di area ini. Kang Yusuf lalu pamit ke air. Sementara saya duduk dan mulai menikmati purnama.
Sendirian di atas gunung, di antara batu-batu andesit entah dari abad mana, rasanya tidak menakutkan. Malah, saya merasa haneuteun atau seperti di kampung saja. Saya malah ingat halaman rumah Abah Ende ketika purnama. Berkumpul bermain bebentengan, gobag sodor, atau hanya duduk di tepas sambil menyanyikan bulan tok dan kakawihan lainnya. Rasanya, rasa takut yang disuguhkan di channel-channel Youtube perihal gunung ini hanyalah rekaan saja. Yah, pemirsa saya merasa ada.... Kalimat yang selalu menjadi pembuka bilamana ada acara uji nyali itu malah berganti kalimat yang lain di mulut saya; subhanallah, wal hamdulillah... Sungguh indah menikmati purnama di sini.
Kang Yusuf datang lagi. Ia sudah memakai kain sarungnya. Mungkin ia bersiap hendak memimpin doa, tapi ternyata saya malah memintanya membabadkan atau mendongengkan bagaimana Gunung Padang semasa ia kecil. Bukan perihal sejarah penemuan area cagar budaya ini, sebab bila kau rajin membuka ulasan-ulasannya, kau pasti tahu bila gunung ini sudah ada dalam laporan R.D.M Verbeek (1891) di Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD) atau buletin Dinas Kepurbakalaan Hindia-Belanda, serta De Corte. Kemudian, sejarawan N.J Krom (1914) melakukan pendokumentasian catatan terkait Gunung Padang ini. Mereka sebenarnya menduga bila area ini hanyalah kuburan kuno. Meskipun dalam penelitian selanjutnya, hal itu tidak terbukti juga. Bagi saya, akan menarik bila mendengar cerita Akamsi alias anak kampung sini dibanding membaca ulang catatan-catatan itu. Toh, memang tujuan saya duduk di sini bukan untuk melakukan penelitian apapun. Hiya, saya membela diri. Heu
Karenanya, ketika Kang Yusuf sudah duduk agak jauh di hadapan saya. Saya memintanya untuk membabadkannya. Tentu, setelah saya melihatnya santai dengan tubuh bersandar pada batu pembatas. Saya pun mengikutinya dengan bersandar sembari meluruskan kaki.
Menurut Kang Yusuf, sewaktu ia kecil, gunung ini sangat rimbun. Dalam cerita para orang tua, dahulu di sini ada pohon besar yang bila orang bersembilan bersembunyi di baliknya, tidak akan terlihat saking besarnya. Setelah ditemukan, banyak juga cerita-cerita mistisnya. Tapi, saya tidak sedang ingin masuk ke ranah uka-uka, karenanya saya segera mengalihkannya pada hal-hal sederhana yang termasuk dalam kesehariannya saja.
"Aneh, biasanya di sini banyak yang bersemedi. Tapi kenapa sekarang sepi, ya?" Kang Yusuf sepertinya terganggu dengan suasana yang tidak biasa ini.
"Ah, biar saja, kang. Malam ini memang khusus untuk saya saja," seloroh saya untuk menenangkannya. "Sekarang, akang lanjutkan sama membabadkan tempat ini. Mumpung bulan sedang terang dan saya sedang ingin mendengar," sambung saya seraya menyunggingkan senyum. Tentu ia tidak melihatnya.
Ia kembali bercerita perihal bagaimana Gunung Padang ditemukan, prakiraan usia peradaban yang bertumpuk di wilayah ini, hingga hal-hal yang sedang dilakukan oleh para peneliti di situs megalitik ini. Saya hanya terus mendengar, sembari mendengar suara alam dan nurani saya sendiri. Tonggeret di kejauhan, anjing yang terus menggonggong, kepak sayap kelelawar yang hilir mudik, suara tokek, cicak, dan kunang-kunang yang mendekat.
"Saya merasa sangat bersyukur, berada di sini malam ini, kang. Kalau disengajakan datang dari Banten mah mungkin akan lama untuk sampai di sini. Saya hanya bisa berdoa semoga seluruh makhluk berbahagia dan seluruh pekerjaan terkait penelitian, pemugaran dan perlindungan tempat ini dilancarkan. Dan tentu, semoga Indonesia tetap aman, damai dan sentosa. Gemah ripah loh jinawi. Saya sangat bahagia," ujar saya setelah sekian lama mendengarkan Kang Yusuf. Terdengar Kang Yusuf mengamininya.
Lalu, suara itu terdengar sendu. Suara seseorang yang menyanyikan lagu yang saya sendiri tidak tahu lagu apa dan siapa yang menyanyikannya. Sementara di langit, bulan yang bukan purnama lagi itu masih membulat sempurna. Kunang-kunang terbang mendekat. Bahu saya terasa diusap pun punggung. Rasanya ingin menangis saja tapi malu. Kesabaran memang ibu dan kebijaksanaan adalah bapa, bukan?
Entah bagaimana, semenjak kaki keluar dari area Batu Singgasana itu, kepala saya diisi kamu, iya kamu orang yang berjanji akan menjemput saya dan berlibur bersama di Sukabumi. Saya terus mengekori Kang Yusuf sembari sesekali memeriksa ponsel. Ini menyebalkan. Tapi saya ingin malam itu juga kamu menyanyikan lagu yang sama yang tadi saya dengar. Sialnya, sinyal sangat kacau dan kesedihan begitu terasa hingga rasanya tidak ingin saya turuni tangga-tangga itu.
Cag!
Rahayu ing bhuana...
2 Comments
You are not prepared yet, as you have not finished your search. It should take while until you learn more about the history of the discovery of this cultural heritage area.
ReplyDeleteThank you for your comment. I only fulfilled the invitation to visit. Seeing the moon in the top and 'meneng' for awhile. Hehehe.
Delete