Amanat Galunggung
Amanat Galunggung, demikian judul beken naskah kropak 632 yang dipopulerkan oleh filolog Saleh Danasasmita yang mengkaji naskah yang ditulis pada abad ke-15 dengan media daun lontar dan nipah dengan menggunakan bahasa dan aksara Sunda Kuna ini. Saleh juga turut mengkompilasikan hasil kajiannya dalam "Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung" (1987).
Naskah yang saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional ini berisi nasihat mengenai etika, budi pekerti dan moral urang Sunda yang disampaikan oleh Raja Sunda, Rakean Darmasiksa (Prabu Sanghyang Wisnu) kepada puteranya Rakeyan Saunggalah atau Ragasuci atau Sang Lumahing Taman dan umumnya untuk kita semua.
Berikut isi Amanat Galunggung:
Naskah yang saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional ini berisi nasihat mengenai etika, budi pekerti dan moral urang Sunda yang disampaikan oleh Raja Sunda, Rakean Darmasiksa (Prabu Sanghyang Wisnu) kepada puteranya Rakeyan Saunggalah atau Ragasuci atau Sang Lumahing Taman dan umumnya untuk kita semua.
Berikut isi Amanat Galunggung:
Lembar Jilid verso
Awignam astu. Nihan tembey sakakala1 Rahyang
Ba/n/nga, masa sya nyusuk2 na Pakwan makangaran Rahyangta
Wuwus,3 maka manak Maharaja Déwata, Maharaja Déwata maka manak Baduga
Sanghyang,
Semoga selamat. Inilah permulaan tanda
peringatan Rahiyang Banga, ketika ia membuat parit (pertahanan) Pakuan, bernama
Rahingta Wuwus, maka (ia) berputera Maharaja Dewata
berputera Baduga Sanghiyang,
1Sakakala oleh Pleyte diterjemahkan
dengan “overlivering omtrent de afstameling” (ceritera turun-temurun
tentang silsilah). Dalam prasasti-prasasti Sunda, kata sakakala selalu
dimaksudkan sebagai: tanda peringatan bagi yang sudah wafat.
2Nyusuk berarti: membuat susukan atau
parit (biasanya untuk pertahanan kota). Pengertiannya sama dengan kata marigi
dalam prasasti Kawali.
3Gelar Rahyangta digunakan dalam Carita
Parahyangan, sedangkan tokoh yang bersangkutan dalam naskah Cirebon disebut
Rakryan Wuwus. Dengan demikian namanya bukan Rahyang Tawuwus, melainkan
Rahyangta Wuwus.
Baduga Sanghyang maka manak Prébu
Sanghyang maka manak Sa(ng) Lumahing rana,4 Sa(ng) Lumahing rana maka manak
Sa(ng) Lumahing Winduraja, Sa(ng) Lumahing Tasikpa(n)jang (maka manak) Sa(ng)
Lumahing Hujung Kembang, Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang maka manak Rekéyan
Darmasiksa.
Baduga Sanghiyang berputera Prabu
Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputera Sang Lumahing rana, Sang Lumahingrana
berputera Sang Lumahing Winduraja, Sang Lumahing Winduraja berputera Sang
Lumahing Tasikpanjang, Sang Lumahing Tasikpanjang berputera Sang Lumahing
Ujung Kembang, Sang Lumahing Ujung Kembang berputera Rakeyan Darmasiksa.
4Kata sang lumahing umumnya berarti “yang
dipusarakan di”. Sang Lumahing rana berarti yang gugur di medan perang. Pleyte
menduga, tokoh ini adalah raja Sunda yang gugur di Bubat tahun 1357 yang
disebutnya Prabu wangi.
Darmasiksa siya ngawarah anak euncu umpi
cicip muning anggasa(nta)na (kulasantana) pretisantana wit wekas5 kulakadang…… )
Darmasiksa, ia menasihati anak, cucu,
umpi (turunan ke-3), cicip (turunan ke-4), muning (turunan ke-5), anggasantana (turunan ke-6), kulasantana (turunan ke-7), pretisantana (turunan ke-8), wit wekas (turunan ke-9), sanak-saudara….
5Dalam kropak 630 disebut “putuh wekas”
(= putus jejak/turunan).
I rekto
sakabéh, nguniwéh sapilanceukan,
semuanya, demikian pula saudara-saudara
kandung,
mulah pabwang6 pasalahan paksa,
mulah pakeudeukeudeu, asing ra(m)pés, cara purih, turutan mulah keudeu di
tineung di manéh, isos-iseukeun carékna patikrama,
Jangan bentrok (karena) berselisih
maksud, jangan saling berkeras: hendaknya rukun (dalam) tingkah
laku (dan) tujuan. Ikuti, jangan (hanya) berkeras pada
keinginan diri sendiri (saja),
6Kata ini dalam Sunda modern menjadi:
pam(b)eng=berhalangan, dengan pergeseran arti. Kata pabwang berarti saling
merintangi.
isos-iseukeun carékna patikrama,7 jaga kita dék
jaya prang ta(n)jor juritan tan alah kuréya, musuh ti dara(t) ti laut, ti barat
ti timur sakuriling désa, musuh alit, musuh ganal
Camkanlah ujar patikrama, bila kita
ingin menang perang, selalu unggul berperang, tidak (akan) kalah oleh (musuh) yang banyak:
musuh dari darat dari laut, dari barat dari timur di sekitar negeri; musuh
halus, musuh kasar,
7Kata Patikrama lebih baik tidak
diterjemahkan, karena kata itu dapat berarti: adat, kebiasaan, tradisi,
tata-tertib, sopan-santun, peraturan, undang-undang atau hukum keagamaan.
mu(ng)ku kahaja urang miprangkeun si
tepet, si bener, si duga, si twarasi, mulah sida deung kulakadang, mulah munuh
tanpa dwasa, mulah ngarampas tanpa dwasa, mulah midukaan tanpa dwasa, mulah
nenget a(s)tri sama astri, mulah nenget hulun sama hulun,
Jangan dengan sengaja kita
memperebutkan: yang lurus. Yang benar, yang jujur, yang lurus hati. Jangan
berjodoh dengan saudara, jangan membunuh yang tak berdosa, jangan
merampas (milik) yang tak bersalah, jangan menyakiti yang tak bersalah; jangan saling
curiga/sesali antara wanita/isteri, jangan saling curiga antara hamba dengan
hamba,
jaga dapetna pretapa8 dapetna
pegengeun sakti, beunangna (ku) Sunda, Jawa, La(m)pung, Ba-
Waspadalah. kemungkinan direbutnya
kemuliaan (kewibawaan, kekuasaan) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda,
Jawa, Lampung, Ba-
8Pretapa dapat berarti: sinar (kekuatan), cahaya, pancaran, perbawa,
kemuliaan, kewibawaan, pengaruh, kuasa.
I verso
luk, banyaga nu dék ngarebutna kabuyutan9 na Galunggung,
luk, para pedagang (orang asing) yang akan
merebut kabuyutan di Galunggung.
9Kata Kabuyutan pun lebih baik tidak
diterjemahkan, sebab kata itu dapat berarti “tempat keramat”, “tempat suci”
dengan fungsi yang berbeda-beda (kuburan leluhur, tempat pemujaan dan
lain-lain).
asing iya nu meunangkeun kabuyutan na
Galunggung, iya sakti tapa, iya jaya prang, iya heubeul nyéwana, iya bagya na
drabya sakatiwatiwana, iya ta supagi katinggalan rama-resi,10
Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan
di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul
perang, ia akan lama berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara
turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan
para resi,
10Istilah rama di sini berarti “tetua
desa” (bukan ayah). Jadi, bukan sebutan ber-ayah kepada resi, melainkan rama
(tetua desa) dan resi (pendeta). Karena itu lebih baik tidak diterjemahkan.
lamun miprangkeuna kabuyutan na
Galunggung, a(n)tuk na kabuyutan, awak11 urang na kabuyutan, nu leuwih
diparaspadé, pahi deung na Galunggung, jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku
Baluk, ku Cina, ku Lampung, ku sakalian, muliyana kulit di jaryan, madan na
rajaputra,12 antukna boning ku sakalaih,
Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di
Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di kabuyutan. Apa-apa yang
lebih (sulit dipertahankan?) dirapikan, semua dengan yang di Galunggung.
Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung,
oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah dari pada
rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain.
11Kata awak dapat berarti: badan atau
kuasa.
12Tepatnya: nilai kulit lasun di tempat
sampah menyamai rajaputra. Rajaputra dalam hal ini ialah Rakeyan Saunggalah
yang kemudian disebut Prabu Ragasuci dan setelah wafat disebut Sang Lumahing
Taman, putera Prabu Darmasiksa.
jaga rang a(ng)gos dihélwan, munuh tanpa
dwasa, ngajwal13 tanpa dwasa, nguniwéh tan bakti di sang pandita di puhun14 di manéh, na
carita boning ku sa-
Ikutilah terus (pantangan-pantangan) yang telah ditaati, (yaitu) membunuh (yang) tak berdosa, memarahi (yang) tak bersalah, demikian pula tidak berbakti kepada pendeta dan leluhur kita sendiri dalam peristiwa dapat
13Kata ngajwal berasal dari kata jwal
(Sangsekerta: jval) yang berarti: menyala, bersinar, merah-padam atau naik
pitam.
14Kata puhun sebenarnya berarti pohon,
yang dalam hal ini berarti: cakal-bagal atau leluhur. Sinonimnya ialah wiwitan
(witwitan) yang sebenarnya juga berarti tumbuh-tumbuhan (wit = pohon).
II rekto
kalih15 ngaranya, na kabuyutan,
direbutnya kabuyutan oleh orang lain,
15Kata sakalih dalam bahasa Sunda dapat
berarti: yang lain atau sekalian (semuanya).
jaga hamo iseus di mulah di pamali di
manéh, mulah kapuhan dina musuh ganal bala (boning) dila(n)can, musuh alit mwa
boning ditambaan, jampé mwa matih, mangmang sasra tanpa guna, patula tawur tan
mretyaksa ku padan ngalalwan sipat galeng mgalalwan siksa nu kwalwat, kwaywa
nguha di carék aki lawan buyut,
Hindarkan sikap tidak mengindahkan
cegahan dan pantangan diri sendiri, jangan bingung menghadapi musuh kasar;
laskar (musuh) dapat dilawan, sebaliknya musuh halus tidak dapat diobati. Jampi
tidak akan mempan, sumpah (kutukan) seribu (kali) tak akan
berguna, ibarat tawur (kurban) yang tidak terlaksana oleh
perbuatan melampau batas (garis) pematang (aturan), mengabaikan aturan
dari leluhur (orang tua), luput menyadari ucapan kakek dan buyut,
upadina pa(n)day beusi panday omas,
memen paraguna, hamba lawak, tani gusti, lanang wadon, nguniwéh na raja puta –
keudeu
Bandingannya: pandai besi dengan pandai
emas, dalang dengan penabuh gamelan, hamba dengan majikan, petani dengan
pemilik tanah, laki-laki dengan perempuan, demikian pula raja dengan
upeti (persembahan)
di tineung di manéh hamo ngadéngé carék
i(n)dung lawan bapa, hamo ngadéngé carék na patikrama wwang keudeuanakéh,
upadina kadi tungtung halalang sategal kadi a(ng)gerna puncak ing gunung, sa-
Berkeras kepada keinginan sendiri tidak
mendengar nasihat ibu dan bapak, tidak mengindahkan ajaran patikrama, itulah
contoh orang yang keras kepala; ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegalan,
ibarat tetapnya puncak gunung. Si-
II verso
pa ta wruh ri puncaknya, apa yang mengetahui
puncaknya?
asing wruh iya ta wruh inya patingtiman,
wruh di carék aki lawan buyut, marapan kita jaya prang heubeul nyéwana,
Siapa pun yang mengetahuinya, ya tahulah
akan ketentraman, tahu akan nasihat kakek dan buyut, agar kita unggul perang
dan lama berjaya,
jaga kita miprangkeun si tepet si bener,
si duga si twarasi, iya tuhu sirena janma (d)ina bwana iya kahidupanana urang
sakabéh, iya pawindwan ngaranya kangken gunung panghiyangana urang, pi(n)dah ka
cibuntu ngaranya, pindah ka l(e)mah pamasarran, geusana wwang ngéyuhan
kapanasan,
Janganlah kita memperebutkan (bertengkar) tentang: yang
tepat (lurus), yang benar, yang jujur, yang lurus hati; ya sungguh-sungguh tenteram
manusia di dunia, ya kehidupan kita semua, ya ketenteraman namanya ibarat
gunung kahiyangan (bagi) kita, beralih ke telaga (bening) namanya, beralih
ke tanah pusara, tempat orang berteduh dari kepanasan,
jaga rampésna agama, hana kahuripana
urang sakabéh, mulah kwaywa moha di carékna kwalwat pun.
Pelihara kesempurnaan agama, pegangan
hidup kita semua, jangan luput atau bingung terhadap ajaran para leluhur (orang tua).
Ujar Rekéyan Darmasiksa, ngawarah urang
sakabéh, nyaraman Sa(ng) Lumahing Taman, sya Rekéyan Darmasiksa, maka manak
Sa(ng) Lumahing Taman, patemwan deung ti Darma-agung, aya mangsesya pa-
(Itulah) ujar Rakeyan
Darmasiksa, menasihati kita semua, mengajari Sang Lumahing Taman. Ia, Rakean
Darmasiksa berputera Sang Lumahing Taman dan perkawinannya dengan wanita dari
Darma Agung pernah ia pun me-
III rekto
temwan deung ti sisima pun. nikah dengan orang
desa.
Makangaran San Raja Purana, carék Sang
Raja Purana, ah ra(m)pés carék déwata16 kami, sya Rekéyan Darmasiksa pun.
(Putranya) bernama Sang
Raja Purana. Kata Sang Raja Purana, ah sempurna, sempurna ajaran ayahku
suwargi, dia Rakeyan Darmasiksa.
16Kata déwata dapat pula berarti: suwargi
atau almarhum.
Jaga diturutan ku na urang réya, marapan
atis ikang désa, sang prabu énak alungguh, sang rama énak emangan, sang disi
jaya prang,
Peliharalah agar tetap ditaati oleh
orang banyak, agar aman tenteram seluruh negeri, raja tenteram bertahta, sang
rama tenteram menghimpun bahan makanan, sang disi unggul perangnya,
jaga isos di carék nu kwalyat,
ngalalwakon agama nu nyusuk na Galunggung, marapan jaya pran jadyan tahun,17 heubeul nyéwana,
jaga makéyana patikrama, paninggalna sya séda,
Tetaplah mengikuti ucap orang tua,
melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung, agar unggul
perang, serta tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya panjang umur,
sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi,
17Kata tahun di sini berarti:
tumbuh-tumbuhan, tanaman, pohon.
jagat daranan18 di sang rama,
jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu,19
Dunia kemakmuran, tanggung jawab sang
rama, dunia kesejahteraan hidup, tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan,
tanggung jawab sang prabu,
18Kata daranan (sansekerta: dhara) menurut
konteks kalimat harus diartikan: bantuan bahan makanan. Kata kemakmuran lebih
memadai.
19Rama, resi, dan prabu disebut tritangtu
dibuana yang sama kedudukannya tetapi berbeda tugas. Ketiga-tiganya dianggap
penjelmaan Mahapurusa.
haywa paalaala palungguhan, haywa paalaala
pameunang, haywa paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya, maka
pada mulianya, ku ulah ku sabda, (ku) ambek,
Jangan berebut kedudukan, jangan berebut
penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya, sama
mulianya. Oleh karena itu bersama-samalahlah berbuat kemuliaan dengan
perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad:
III verso
si niti si nityagata, si aum,20 si heueuh21 si karungrungan,22 ngalap kaswar
semu guyu/ng/ téjah ambek guru23 basa,
yang bijaksana yang selalu berdasarkan
kebenaran, yang bersifat hakiki, yang sungguh-sungguh, yang memikat hati, suka
mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara,
20Kata aum dapat diterjemahkan dengan: Ya
(untuk menyeru Tuhan). Si aum adalah mereka yang senantiasa menyeru (mengingat)
Tuhan. Aum juga berarti: kebenaran atau kenyataan tertinggi (hakiki).
21Kata heueuh berarti: ya, benar,
sungguh-sungguh.
22Karungrungan = kaseundeuhan , selalu
dikerumuni orang karena sifatnya yang menyenangkan.
23Kata guru di sini berarti: berat,
seperti pada istilah guru-lagu (berat-ringan). Padanan yang tepat dalam
Bahasa Sunda modern ialah: anteb (mantap).
dina uran sakabéh, tuha kalawan anwam,
mulah majar kwanta, mulah majar lak(s)ana, mulah madahkeun24 pada janma,
mulah sabda ngapus,25 iya pang jaya prang heubeul nyéwana ngaranya,
Bagi kita semua, tua dan muda, jangan
berkata berteriak, jangan berkata menyindir-nyindir, jangan menjelekkan sesama
orang, jangan berbicara mengada-ada, agar unggul perang dan lama berjaya
namanya,
24Kata madahkeun berasal dari kata: adah
(= adas) yang berarti: buruk atau jelek; madahkeun = memburukkan atau
menjelekkan.
25Kata ngapus berasal dari kata: apus =
tali atau ikat. Angapus atau ngapus berarti mengikat atau membuat sajak.
urang ménak26 maka rampés
agama, haat héman dina janma, mana urang ka(n)del kulina,27 mana urang
dipajarkeun ména(k)28 ku na rama,
Kita merasa senang, maka sempurnalah
agama, kasih-sayang kepada sesama manusia, maka kita dianggap bangsawan, maka
kita dikatakan orang mulia oleh sang rama,
26Kata ménak adalah kontradiksi dari ma +
inak yang berarti: merasa enak atau senang. Kemudian digunakan pula untuk
menyebut golongan masyarakat yang terhormat (dianggap enak hidupnya).
27Kata kandel dalam hal ini tidak berarti
tebal, melainkan kaandel (dipercaya, dianggap, diandalkan). Rupa-rupanya, karena
Pleyte dan Holle mengartikan kata kandel itu dengan tebal, maka kata kulit
muncul sebagai asosiasinya. Dilihat dari hubungan kalimat dan maknanya,
perkataan kandel kulit (= tebal kulit) di sini tidaklah tepat, bahkan janggal.
Sangat mungkin dalam naskah tertulis kulina (orang keturunan, bangsawan). Hal
ini sejalan dengan kata ménak pada frase berikutnya.
28Di sini kata ménak berarti: orang mulia,
bangsawan.
carék na patikrama, na urang lanang
wadwan, iya tuwah iya tapa, iya tuwah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja
twah maja tapa, rampés twah waya tapa,
Menurut ajaran dalam patikrama, bagi
kita, laki-laki dan perempuan, ya beramal ya bertapa; itulah perbuatan kita.
Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedang tapanya,
sempurna amalnya berarti berhasil tapanya,
apana urang ku twah na mana beu(ng)har
ku twah na mana waya tapa, na maka muji sakalih ja ku tapa,29 na muji manéh
kéh ona-
Ada pun kita ini, karena amallah dapat
menjadi kaya, karena amal pula dapat berhasil tapa kita. Maka orang lain akan
memuji tapa kita, maka puji sajalah diri sendiri,
29Dalam kropak 630, lembar X, dikatakan,
bahwa memiliki keahlian dan mengerjakan profesi dengan sepenuh hati disebut
tapa di nagara.
IV rekto
m sugan ku ra(m)pés na twah mana
beunghar,
(katakan:) barangkali
karena sempurna amal maka menjadi kaya,
na maka nyesel sakalih ja urang hanteu
tapa, nyesel manéh kéh onam, sugan tu gwaréng na twah mana burungna na tapa,
Bila disesali oleh orang lain karena
kita tidak melakukan tapa, sesali sajalah diri sendiri, (katakan:) barangkali
karena beramal buruk maka tapa kita menjadi batal,
hamwa karampés lamu(n) dipindaha(n) na
twah, jaga dipéda ku sakalih, hamwa karampés na(m)bahan30 twah ja rang
dipuji ku /suku/ sakalih, si cangcingan si langsitan si paka, si
rajeun-leukeun, si mwa-surahan si prenya, si paka maragwalragwal, purusa emét
imeut rajeun-leukeun pakapradana,31 iya bisa ngaranya, titis32 beu(ng)har waya
tapa kitu tu rampés twah na ménak,
Percuma (tidak akan
diterima) jika amal itu dihilangkan (tidak dilakukan) karena takut
dicela oleh yang lain; percuma kita menambah amal bila mengharapkan dipuji oleh
orang lain. Sebab si cekatan, si terampil, si tulus-hati, si rajin-tekun, si
tawakal, si bersemangat, perwira, cermat, teliti, rajin, tekun, penuh
keutamaan, ya berkemampuan namanya, benar-benar kaya dan berhasil tapanya.
Begitulah kesempurnaan amal orang mulia,
30Karena kata pindah di sini berarti
hilang, maka “ na bah” seharusnya ditulis nambah (=menambah).
31Kata pakaprada berasal dari kata paka =
(perlu, muda, matang, lengkap, tulus hati, penuh, cukup) dan pradana = (utama,
pertama, terkemuka.)
32Menurut Coolsma, kata titis di antaranya
berarti: meneran (tepat) dan keuna (kena).
jaga iseus di carék nu kwalwat, di puhun
di manéh, maluy swarga tka/t/ing kahyangan Batara Guru, lamun tepet bener di
awak di manéh tu (u)cap na urang kahaja bwa-
Terus camkanlah ujar orang-orang tua,
ujar leluhur kita sendiri (agar) masuk surga tiba di
kahiyangan Batara Guru, bila kejujuran dan kebenaran ada pada diri kita
sendiri. Itu dikatakan kita menyengaja (berbuat baik). Un-
IV verso
t si mumulan, si ngeudeuhan, si
banteuleu, dungkuk peruk, supenan, jangkelék,33 rahéké, mémélé,
bra/h/hélé,34 sélér twalér,35 hantiwalér, tan bria,36 kuciwa, rwahaka,
jangjangka, juhara, hanteu di kabisa, luhya mumulan, mo teu(ng)teuing,
manggahang, bara/ng/-hual,37 nica mreswala, kumutuk pregutu,
surahana, sewekeng, pwapwarosé,38 téréh kasimwatan, téréh kapidéngé,
mwa teteg di carék wahidan,39 sulit rusit,40 rawa-ja papa,
tuk si pemalas, si keras-kepala, si
pandir, perenung, pemalu, mudah tersinggung, lamban, kurang semangat, gemar
tiduran, lengah, tidak tertib, mudah lupa, tak punya keberanian, kecewa, luar
biasa, sok jago, juara (jagoan), (tetapi) tak
berkepandaian, selalu mengeluh, malas, tidak bersungguh-sungguh, pembantah,
penempelak, selalu berdusta, bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan, segan
mengalah, ambisius, mudah terpengaruh, mudah percaya kepada omongan orang (tanpa disaring
dahulu), tidak teguh memegang amanat, sulit rumit (mengesalkan), aib, nista,
33Dalam bahasa Sunda: delit atau pundungan.
34Maksudnya berbaring bermalas-malasan (bahasa Sunda: gégéléhéan).
35Dalam bahasa Sunda sekarang: toleran
atau oleran = tak pernah menyimpan atau meletakkan sesuatu pada tempatnya dan
kemudian melupakannya.
36Kata bria ubahan dari wirya =
keberanian, keperwiraan.
37Kata bara(ng)hual berasal dari
kata: hual= suka mengungkit-ungkit kesalahan atau keburukan orang lain atau
membalikkan perkataan seseorang.
38Kata pwapwarosé (sekarang: poporosé)
berarti: berusaha keras memperoleh sesuatu dengan memaksakan diri.
39Kata wahidan berasal dari kata
Sangsekerta: vahita=amanat.
40Kata rusit dalam bahasa Sunda sekarang
menjadi: rujit=menjijikkan, mengesalkan karena banyak tingkah atau karena
terlalu memilih-milih.
katang-katang di kalésa di kawah ma ku
Sang Yamadipati, atma cumunduka ring ywaga tiga, mangrupa janma, maka jadi
neluh,
Mayat-mayat pada lubang kawah (neraka), (dikuasai) oleh Sang Yamadipati.
Arwah berdatangan dalam tiga periode, berupa manusia, maka jadi mengeluh,
mulana mumulan sangkana réya kahayang,
hanteu di imah di manéh, ménta twah ka sakalih, ménta
asal-mula jadi mengeluh (karena) malas pada hal
banyak keinginan, tidak tersedia di rumahnya, meminta belas-kasihan kepada
orang lain, meminta
V rekto
guna ka sakalih, kebajikan kepada orang
lain,
hanteu dibéré ksel hatinya, jadi
nelu(h), pamalina iya dwakan iya jangjitan ngaranya, kajajadiyana na urang hiri
paywagya di nu bener,
(Bila) tidak dikasih kesal hatinya, jadi
mengeluh. Tercela, (karena yang demikian itu) ya seperti air
di daun talas, plin-plan namanya. Akibatnya kita mengiri akan keutamaan orang
yang benar,
na twah ra(m)pés dina urang, agamani(ng)
paré, ma(ng)sana jumarun, telu daun, ma(ng)sana dioywas, gedé paré, ma(ng)sana
bulu irung, beukah, ta karah nunjuk lang/ng/it, tanggah ta karah, kasép nangwa41 tu iya ngaranya,
umeusi ta karah lagu42 tu(ng)kul, harayhay asak, tak karah ca(n)dukur, ngarasa manéh kaeusi,
Ada pun amal yang sempurna pada diri
kita (adalah) ilmu padi: pada saat bertunas (sebesar jarum), keluar daun (tiga daun), saat disiangi,
tumbuh dewasa, keluar kuncup (seperti bulu hidung), mekar buah, ya
menunjuk langit, ya menengadah; indah tampang namanya. Setelah berisi tiba saat
mulai merunduk, menguning masak ya makin runduk, karena merasa diri telah
berisi,
41Kata nangwa dalam Bahasa Sunda sekarang
menjadi: nangeu(h)=menjulurkan muka dengan dagu ditopang sambil tidak
berbuat atau memperhatikan sesuatu.
42Kata lagu di sini berarti: waktu, (lagu
indit)=(waktu berangkat).
aya si nu hayang, daék tu maké hurip na
urang réya, agamaning paré pun. Lamun umisi tanggah, harayhay tanggah, asak
tanggah, hapa ngarana,
Bila ada yang mau dan bersedia (berbuat) demikian, maka
kehidupan orang banyak akan seperti perilaku padi. Bila saatnya berisi (tetap) tengadah, saat
menguning (tetap) tengadah, saat masak (tetap) tengadah, hampa
namanya,
pahi deung ayeuh43 ngarana, hanteu
alaeunana,
Lain dengan yang disebut (padi) rebah-muda,
sebab nihil hasilnya,
43Padi yang ayeuh (rebah) pada usia muda,
masih dapat dipanen, sedangkan padi hampa (kalimat sebelumnya) nihil hasilnya.
kitu tu agama dina urang réya; ngarasa
manéh imah kaeusi, leuit kaeu-
Demikianlah perilaku orang banyak;
karena merasa rumah telah lengkap (terisi), lumbung telah teri-
V verso
si (da)yeuh44 kaeusi dipaké
sikara45 dipaké simangké,46 dipaké hulangga,47 mwa kabita na
paré téya kéna hanteu alaeunana, hanteu turutaneunana, na urang r(é)ya sarwa
deung ayeuh ngawara ngarana,
si, negeri telah ramai isinya, dijadikan
kekayaan, dijadikan persediaan, dijadikan perhiasan. Tidak akan ada yang
mengingini padi itu, karena tak dapat dipetik hasilnya, tak ada yang patut
ditiru. Maka orang banyak sama dengan rebah-muda namanya,
44Kata dayeuh diartikan: negeri,
berdasarkan penjelasan dalam kropak 630 lembar XV mengenai isi yang
dimaksud:”Desa ma ngaranya dayeuh, na dayeuh lamun kosong hanteu
turutaneunana”.
45Kata sikara berasal dari kata
Sangsekerta: svkara=kekayaan.
46Kata simangké berdasarkan konteks
kalimat diartikan “untuk nanti”.
47Mungkin sama dengan kata: wulangga
(gunung perhiasan). Perubahan wulangga menjadi hulangga dapat dibandingkan
dengan perubahan kata Kawi: wulanjar yang dalam Bahasa Sunda menjadi: hulanjar.
mwa karampés, jaga rang téoh48 twah, bwa tu
heubeul nyéwana pun. Lamun héman dinu karwalwat, jaga rang éwéan, jaga
ngara(m)pas,49 jaga ngasupkeun hulun, ja rang midukaan,
Janganlah kita berwatak rendah, pasti
tak akan lama hidup. Bila kita menyayangi orang-orang tua, hati-hatilah memilih
istri, hati-hatilah memilih jodoh, hati-hatilah memilih hamba, agar jangan
menyakiti hatinya,
48Kata téoh sinonim dengan kata landeuh:
arti umumnya ialah tempat atau tanah yang rendah. Dalam kamus Coolsma diartikan
“onder, beneden” (bawah).
49Kata rampas di sini berarti: jodoh atau
pasang, seperti dalam kata: sarampasan=sepasang, sejodoh atau satu setel.
nanya ka nu karwalwat, mwa téo(h) sasab
na agama pun, na sasana bwat kwalwat pun,
Bertanyalah kepada orang-orang
tua, (niscaya) tidak akan hina tersesat dari agama, yaitu hukum buatan leluhur,
Hana nguni hana mangké,50 tan hana nguni
tan hana mangké, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu
ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma
tunggulna51 aya tu catangna, (hana guna) hana ring demakan, tan hana
Ada dahulu ada sekarang, Tidak ada
dahulu tidak akan ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada
masa lalu tidak akan ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok
kayu tidak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada catangnya, ada jasa
ada anugerah, tidak ada
50Kata mangké dapat berarti: nanti atau
sekarang.
51Tunggul=sisa pohon kayu, bekas tebangan;
catang=batang kayu yang sudah roboh.
VI rekto
guna tan hana ring demakan, galah dawa
sinambung/ng/an tuna,52 galah ceundeuk tinug(e)lan tka,53
jasa tidak akan ada anugerah. Galah
panjang disambung batang, galah tusuk dipotong runcing,
52Kata tuna di sini ambilan dari kata
Sangsekerta: tunda=batang atau belalai.
53Kata teka juga ambilan dari kata
Sangsekerta: titka=runcing, meruncingkan. Kata ceundeuk dalam kropak 630: cedek
(=sedek) yang berarti: tusuk atau sodok. Dalam kropak 630 (XII) terdapat
ungkapan: Lamun urang daék dipuji maka dyangganing galah dawa sinambungan tuna,
rasa atoh ku pamuji; anggeus ma dipaké,….éta kangken galah dawa ta, éta kangken
paré hapa ta ngarana”. Maksudnya ialah perbuatan yang berlebihan sehingga
menjadi sia-sia. Lawannya ialah “galah cedek tinugelan teka”.
a(n)tukna karah na urang ngarasa manéh
hanteu tapa lalo tandang marat nimur, ngalwa(r) ngidul réya kahayang, réya
geusan mangkuk, bogoh pi(n)dah, réya agama,54 réya patingtiman, pipirakan,55 ider-ideran, bwaga
di kuras56 hayang r(é)ya hulun mu(ng)ku kasorang ja urang hanteu tapa, salah
paké urang ménak,
Akhirnya malah, kita merasa tidak
melakukan amal baik. Lalu berkelana, ke barat ke timur, ke utara ke selatan,
banyak tempat tinggal (rumah), senang berpindah-pindah, banyak
tanam-tanaman, banyak tempat peristirahatan, perhiasan perak, bertualang,
senang (memelihara) ternak, ingin banyak hamba. Tidak akan terlaksana, karena kita tidak
beramal (berkarya) baik, Salah tindak para orang terkemuka,
54Kata agama (a=tidak+gama=pergi,
bergerak) sebenarnya berarti: sesuatu yang tidak bergerak atau tidak berubah.
Menurut Macdonell, arti kata agama (a suku pertama pendek) adalah: “immovable,
tree”.
55Kata pipirakan adalah jamak dari:
pirak=perak (bukan cerai).
56Kata kuras sebenarnya dikhususkan kepada
hewan kaki empat yang berkuku (hoofed four-footed animal). Ungkapan: lésang
kuras (tak pandai menyimpan rezeki) mula-mula dimaksudkan: seseorang yang
ternaknya selalu lepas (kabur) seolah-olah licin kulitnya.
na gusti, na panghulu, na wiku sakabéh
salah paké,57 na raja sabwana salah paké, beuki awor-awur tanpa wastu ikang bwana,
ya pemilik tanah, ya penguasa, ya
pendeta, semuanya salah tindak, ya bahkan raja seluruh dunia salah tindak.
Makin semrawut tanpa kepastian dunia ini,
57Kata paké di sini sejalan penggunaannya
dengan prasasti Kawali baris 8 dan 9 “pakena gawe rahayu”. Dalam Bahasa Sunda
sekarang kira-kira sama dengan ungkapan pamake dalam arti: adat dan perilaku.
Untuk pemerintahan dapat diartikan: kebijakan atau tindakan pemerintah.
carék Rekéyan Darmasiksa surung réya
geusan mangkuk heuweung58 kénéh mo réya éwé, surung pritapa
soné, heuweung kénéh hanteu tapa,
Kata Rakeyan Darmasiksa: urung
memperoleh rumah banyak, lebih baik jangan beristri banyak; urung bertapa mencapai
kesucian diri, lebih baik jangan bertapa,
58Kata heuweung dalam Bahasa Sunda
sekarang menjadi: leuheung = mendingan, lebih baik.
mu(ng)ku kasorang ja urang hanteu tapa,
kéna hanteu dika-
Tak akan terlaksana, karena kita tidak
berkarya, karena tidak memiliki
VI verso
bisa hanteu dikarajeuna, ja ku ngarasa manéh gwaréng twah karah dipi(n)dah/h/an59 ku na urang hamo tu galah dawa sina(m)bungan tuna ngarana,
keterampilan, tidak rajin, karena merasa
diri berbakat buruk, malah lalu kita jauhi, percuma saja, (ibarat) galah panjang
disambung batang namanya,
59Kata pindah di sini berarti: menjauhkan
diri.
nu pridana, nu takut sapa, nurut dina
ménak, di gusti panghulu, réya kabisa, prijnya, cangcingan, gapitan, iya galah
ceundeuk tinugelan t(é)ka ngarana, hatina teu burung/ng/eun
tapa60 kitu ma na urang pun.
(Mereka) yang utama, yang
takut akan kutukan, taat kepada orang-orang mulia, kepada pemilik tanah dan
penguasa, banyak memiliki keterampilan, cerdas, cekatan, terampil, ya (ibarat) galah tusuk
dipotong runcing namanya. Tidaklah mengurungkan (menyia-nyiakan) amal-baik kita bila
demikian halnya.
60Bagian ini lebih baik dibaca: “hanteu
piburungeun tapa”.
Ku na urang ala lwirna patanjala, pata
ngarana cai, jala ngarana (a)pya, hanteu ti burung/ng/eun tapa61 kita lamuna
bitan apwa téya, ongkoh-ongkwah62 dipilalwaeun di manéh, gena(h)
dina kageulisan, mulah kasimwatan, mulah kasiweuran63 ka nu
miburung/ng/an tapa, mulah kapidéngé ku na carék gwaréng, ongkwah-ongkoh di
pitineung/ng/eun di manéh, iya ra(m)pés, iya geulis……..
Kita tiru wujud patanjala; pata berarti
air, jala berarti sungai. Tidak akan sia-sia amal baik kita, bila (kita) meniru sungai
itu. Terus tertuju kepada (alur) yang akan dilaluinya, senang akan
keelokan, jangan mudah terpengaruh, jangan mempedulikan (hal-hal) yang akan
menggagalkan amal-baik kita; jangan mendengarkan (memperhatikan) ucapan yang
buruk, pusatkan perhatian kepada cita-cita (keinginan) sendiri. Ya
sempurna, ya indah…
61Harus dibaca “hanteu piburungeun tapa”,
pada baris berikutnya kita temukan kata miburungan tapa yang erat pertaliannya
dengan piburungeun tapa.
62Ongkoh-ongkwah (sekarang:
ongkoh-ongkoh)=jongjon, tonggoy: berarti tidak mempedulikan hal-hal lain karena
tenggelam dalam hal yang sedang dihadapinya.
63Dalam Bahasa Sunda dialek Bogor ada
ungkapan: kasiwer=terperhatikan atau sempat diperhatikan; siweur atau siwer
berarti: memperhatikan atau menyempatkan diri.
Disalin dari:
Amanat Dari Galunggung (Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong-Garut)
Oleh: Drs. Atja & Drs. Saleh Danasasmita, Proyek Pengembangan Permusieuman Jawa Barat, 1981.
Amanat Dari Galunggung (Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong-Garut)
Oleh: Drs. Atja & Drs. Saleh Danasasmita, Proyek Pengembangan Permusieuman Jawa Barat, 1981.
0 Comments