Perburuan Petarung
Ilustrasi: pixabay.com |
Di atas bukit itu, orang-orang duduk di sekitar batu besar yang di atasnya telah kau duduki, mereka tampak lelah. Aku masih di tempatku, membelakangimu dan mereka. Tanganku masih dalam posisi merentang tali gondewa. Aku merasa musuh masih di sana. Ya, di sana, di atas pepohonan besar itu dan di sebalik rimbun semak-semak. Karena itu, aku terus bersiaga sembari melihat tanda-tanda keberadaannya. Meskipun sesungguhnya, aku pun sangat lelah.
Bagaimana tidak lelah bila sudah berhari-hari, siang ke malam ke siang lagi dan lagi, orang-orang yang kesetanan itu terus mengejar dan memburu kami seolah kami adalah penghianat yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Melihat banyaknya orang-orang itu, aku sampai bergidik ngeri. Kami kalah jumlah!
Sebenarnya, aku sendiri merasa tidak punya alasan kuat untuk menghilangkan nyawa orang-orang yang tak memiliki permasalahan langsung denganku itu. Karenanya, setiap kali gondewa di tanganku ini kugunakan, kuniatkan untuk sekadar membuat mereka terluka saja. Walaupun aku tidak tahu, apakah dari puluhan jamparing yang melesat itu benar-benar hanya menunaikan apa yang kuniatkan, atau malah sebaliknya? Tapi setidaknya, kali ini aku benar-benar tidak ingin membinasakan siapapun.
Di sabana yang beberapa jam lalu kulewati, aku sempat bertanya-tanya, berapa ratus ribu orang yang dikerahkan dalam perburuan kami ini? Rasanya, pasukan mereka seperti tak habis-habis! Selama beberapa hari ini, mereka seperti bedul bayangan (babi mengamuk). Mereka terus memburu dan terus memburu hingga titik lelah kami. Dan hari ini, sepertinya, tuan mereka memutuskan untuk menarik mundur pasukannya di ujung sabana yang telah jauh kami tinggalkan itu. Karenanya, kami bisa melepas lelah. Tapi aku yakin, mereka tidak sepenuhnya menarik pasukan. Ada pasukan kecil yang akan selalu diperintahkan untuk membuntuti orang-orang yang dianggap musuh, di samping si telik sandi yang sudah pasti akan terus mengekor itu.
"Sudah, biarkan, Nimas. Mari duduk di sini," serumu seraya menepuk batu besar yang tak sepenuhnya kau duduki.
Kuanggukan kepala tapi tetap kuputuskan melepaskan jamparing ke sekitar kami. Dan benar. Suara benda jatuh di kejauhan menjadi tanda jika firasatku tidak salah. Mereka masih membuntuti! Orang-orang yang tengah mengelilingimu itu langsung bersiaga. Sementara aku melenggang ke arahmu dan memberi isyarat agar mereka kembali beristirahat.
Kau menyambutku dengan senyuman. Tatapanmu sudah mengucapkan banyak hal yang perlu kuketahui, meski mulutmu tetap diam. Kau masih kesulitan mengucapkan kata 'terima kasih', kekasih?
Setelah aku duduk, kau mulai membuka pembicaraan. Perihal siasat yang sebelumnya sudah kami susun. Kau sedikit mengubahnya. Semua orang tak terkecuali dirimu, kau perintahkan untuk menyebar ke segala penjuru. Katamu, pemimpin orang-orang yang kesetanan itu pasti akan mengerahkan orang-orang terbaiknya untuk memburu kami. Karenanya, untuk membuat mereka terpencar, kami pun harus berpencar dan mempersiapkan diri dalam pertarungan langsung. Kau melirik padaku sekilas. Mengirim sandi yang hanya kau dan aku yang tahu. Kau mengkhawatirkanku di pertarungan satu lawan satu yang pasti terjadi itu?
Mari kuingatkan, saat masing-masing dari kita memutuskan bersama, kita semua tahu apa yang harus kita lakukan. Kita punya tugas yang harus kita selesaikan sendiri. Kita juga sudah memprediksi saat seperti ini akan terjadi. Meskipun kita juga memiliki kewajiban untuk saling membantu bilamana salah satu dari kita sedang dalam bahaya.
Karena itu, semua orang yang ada di rombongan ini tidak ada yang tidak siap. Kami semua paham apa yang harus dilakukan. Orang-orang yang terpilih dari yang dipilih ini pasti bisa membela diri. Setidaknya, bertahan untuk tidak mati hingga tugas yang diemban dapat diselesaikan.
Kau melirikku dengan tatapan sendu. Ah, kau pasti mengkhawatirkanku. Selalu begitu. Kasih sayangmu yang tertumpah padaku selalu membuatmu gagal memisahkan antara tugas ini dan rasa di dadamu. Kugelengkan kepalaku sembari mengirim senyum untuk menenangkanmu.
"Kau dampingi dia, ya," ujarmu pada salah seorang lelaki yang selalu berada di sisimu. Lelaki yang selalu berada di belakangmu. Tameng sekaligus penjagamu. Ah, padahal tidak perlu. "Tolong jaga dia dengan nyawamu," sambungmu.
Lelaki itu menjawabmu dengan sikapnya.
*
Bangunan itu sudah lama tidak terpakai. Ada begitu banyak tanaman rambat hingga lelaki yang selalu berada di sampingmu itu harus membuka jalan dengan cara membabatnya dengan pedang. Aku membantunya dengan menyingkirkan sisa-sisanya. Namun mendadak terdengar suara jamparing melesat.
"Awas!" Lelaki di depanku itu mendorongku tapi ia gagal menyelamatkan dirinya. Ada jamparing yang memanggang lehernya!
Segera kurapatkan tubuhku ke dinding. Kuintip rimbun pepohonan di sisi kiri lelaki yang tak bernyawa itu. Kupastikan mereka tak melihatku mendudukan dan menyandarkannya di dinding yang menjadi benteng pertahanan kami itu. Kuusap matanya. Kukatupkan tangan di dada seraya menutup mata, mendoakan kepergiannya dengan doa paling pendek.
"Maaf," kuambil sesuatu di tubuhnya dan menempatkannya di kantung pribadiku. Begitu pula senjatanya.
Kuintip kembali persembunyian orang-orang kesetanan itu. Seseorang yang memakai pakaian serba hitam itu sudah berhasil pindah ke atas pohon tak jauh dari bagunan itu. Artinya, posisiku tampak nyata olehnya. Karena itu, segera kuangkat gondewaku, menariknya sekaligus untuk membuat para bajingan itu mati juga. Terdengar suara benda jatuh. Mereka mati.
Tanpa menunggu waktu, segera aku melesat ke Utara. Persetan dengan tugasku. Aku harus segera menyusulmu! Kau yang paling mereka incar dan kau sendirian!
Aku melesat ke atas pohon dan melompat ke pohon lainnya. Kubuka seluruh indera. Kukirim pesan padamu untuk berhati-hati. Meski tidak ada jawabanmu. Apa kau sedang sibuk bertarung atau kau sudah mati?
Hutan semakin lebat, cahaya matahari sudah tak bisa lagi menembus dedaunannya. Jarak pandang pun mulai terbatas. Tapi aku terus berlari menuju jalan yang akan atau pernah kau lewati. Aku mencarimu. Terus mencarimu. Mencarimu!
0 Comments