Terompah dan Sandal Jepit

 


"Nyi, kenapa tidak pakai sandal?" Tanya seorang lelaki berjamang putih dengan ikat kepala putih juga ketika saya baru keluar dari rumah di atas bukit itu. Di jauh, lembah tampak menghijau dengan batas gugusan gunung yang menggurat dari Selatan ke Utara.

"Ini pakai, kok," ujar saya seraya menunjuk terompah yang terbuat dari batok kelapa yang didesain sedemikian rupa menyerupai sandal. Kening saya mengernyit.

"Lha, itu sudah jelek, nyai. Ayo kita cari yang lebih bagus," ujarnya seraya mendahului saya. Ia mengajak saya menuruni lembah hingga sampai di dataran yang serupa tegalan. Di atas tanah itu, kelapa-kelapa tampak menancap. Seperti sengaja ditanam. Sekilas aneh, tapi rasanya biasa saja kala itu.

"Ini kelapa yang ini bagus buat terompah, nyai," katanya seraya menunjuk kelapa yang menancap di tanah. Kepala saya menggeleng.

"Ini juga masih bagus kok," ujar saya mencoba menolaknya dengan halus. Sebab, saya enggan merepotkannya dengan membuatkan saya terompah baru dari kelapa yang ia tunjuk itu. Selain itu, rasanya memang, terompah yang saya pakai pun masih bagus dan kuat untuk dipakai saat berjalan-jalan di sekitar kampung ini. Meskipun memang rasanya kurang nyaman. 

Lelaki itu menggeleng seolah tahu ketidaknyamanan di kaki saya. Ia kemudian merogoh kanderon yang disampirkan di bahunya. Tanpa melihat saya, ia berceloteh bahwa ia baru saja pulang dari kota dan ia membawakan saya hadiah. Katanya, orang-orang kota sering memakai apa yang dibawanya ini dan daripada saya terus keukeuh memakai terompah itu, saya mestinya memakai apa yang dibawanya ini.

"Nah, ini...," ujar lelaki itu seraya menyodorkan sandal swallow berwarna kuning dengan pijakan putih. Tanpa terasa, mata saya berbinar.

"Nah, kalau itu boleh," ujar saya sembari menyenyum. Lelaki itu tertawa. Sementara saya memakai sandal itu, lelaki itu terus berceloteh mengenai perjalanannya di kota. Bagaimana ia tahu saya sudah datang ke kampungnya dan ia terus mengingat saya. Mendengar ada seseorang yang mengingat saya, hati saya terasa menghangat. Ada haru diingat oleh siapapun, apalagi saat ia membawakan apa yang saya butuhkan seperti ini.

Sambil bercengkrama di pinggir tegalan itu, kami menikmati kelapa muda yang ia ambil dari pohon kelapa yang tak jauh dari tempat kami duduk. Saat sedang asyik mengobrol, mendadak ia mengacungkan tangan meminta saya tidak mengatakan apapun lagi. Keningnya tampak mengernyit kecil, lalu ia mengangguk dan berdehem.

"Nyai dipanggil olot," ujarnya dengan suara yang terdengar lebih formal dibanding saat kami bercengkrama tadi. "Mari, saya antar," sambungnya seraya beranjak.

Kemudian, kami beriringan menelusuri jalan setapak menuju kampung. Tentu saja setelah kami membereskan sampah bekas kami meminum air kelapa muda tadi. Dalam hati, saya terus berceloteh mengenai kekhawatiran-kekhawatiran yang menghadang di depan mata. Bagaimana pun, selama seumur hidup, saya belum pernah dipanggil langsung oleh olot atau tetua kampung seperti sekarang ini. Apalagi sepertinya sangat resmi sekali, seolah nanti saya hendak disidang karena suatu kesalahan yang entah apa. Atau mungkin, akan diberi tugas yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Misalnya, saya harus pergi ke tempat yang jauh dan entah kapan bisa kembali pulang.

"Hehe, tidak perlu khawatir, nyai. Apapun itu, kami akan selalu berada di samping nyai," ujar lelaki itu sembari tersenyum. Meski seperti ada yang tetap ia sembunyikan. Seolah apa yang saya khawatirkan itu memang demikian.

"Hmm, baiklah. Hufh!" Jawab saya seraya menghela napas, menahannya dan menghembuskannya pelan sekali. 

Di atas kepala kami, burung elang terbang rendah seolah mengiringi kami. Apapun itu, saya terima, saya siap. Bismillah.

You Might Also Like

0 Comments