Catatan Monitoring Pelatihan Metik Kacapi Buhun
Setelah sebelumnya tertunda karena dismenore, akhirnya Sabtu (03/09/2022) saya, kakang, Nuril dan Rizal berangkat menuju Kanekes untuk menengok para peserta Pelatihan [Residensi] Metik Kacapi Buhun. Dalam perjalanan ini, saya juga membawa serta data-data yang dibutuhkan untuk salah satu bagian dalam laporan pertanggungjawaban kegiatan Komunitas Aing sebagai salah satu penerima manfaat Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) 2022 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ini.
Selain itu, pesanan-pesanan lainnya dari teman-teman yang sudah berada di Rangkasbitung maupun di Baduy juga dibawa serta. Dan tidak lupa, pesanan yang datang bersama angin di minggu lalu itu juga dibawa. Meskipun salah satu bagian pentingnya sudah tidak segar karena terlalu lama dipendam di kulkas. Sebelumnya, kami juga sudah berusaha mencari penggantinya, namun karena tumbuhan itu sudah dibabat di samping rumah tetangga--sedangkan yang ditanam di depan rumah kami baru saja bertunas, ya sudah, bawa yang ada saja.
Dari Kota Serang, kami melaju ke Pandeglang untuk menjemput Rizal dan langsung ke Rangkasbitung untuk menjemput Nidu. Rencananya kami menginap semalam di Kp. Kadu Gede, tempat teman-teman peserta Residensi Metik Kacapi Buhun berada. Di jalan, kami berbincang mengenai pengisian BBM yang mesti memakai aplikasi, tertundanya kenaikan harga, maupun kabar gembira mengenai beasiswa yang diterima Nidu untuk studi doktoralnya. Syukurlah. Kami turut senang mendengarnya. Setidaknya, ia tidak akan riweuh nantinya. Karena apa? Kalau dia riweuh, kami juga akan turut riweuh! Karena persahabatan kami saling me-riweuh-kan satu sama lain. Haha.
Perjalanan Rangkasbitung-Ciboleger pun tidak terasa. Gerimis menyambut kami di terminal tempat pemberhentian seluruh kendaraan yang hendak memasuki kawasan Masyarakat Adat Baduy itu. Kendaraan-kendaraan tampak sudah memadati area yang tak begitu luas itu. Ada yang baru mau masuk, ada yang sudah bersiap pulang. Hari Sabtu dan Minggu, area ini pasti padat sekali, memang.
Setelah mendapat tempat parkir, kami berjalan menuju warung tempat biasa kami memesan makanan. Teteh dan Kaka Warung menyambut kami dengan sumringah seperti biasanya. Sudah hapal muka-muka lapar dan butuh kopi kami ini. Di warung ini, kami bertemu salah satu peserta dan panitia pendamping yang baru pulang dari huma di luar Desa Kanekes. Sementara peserta lainnya sudah kembali ke Kp. Kadu Ketug bersama Ki Pantun dan Nini. Mereka juga akan segera ke Kp. Kadu Ketug setelah menitipkan kendaraan, sementara kami masih anteng di warung sambil menunggu kabar dari Jaro Pamarentah dan atau perangkat desa lainnya, untuk melaporkan kegiatan kami yang sebelumnya tertunda karena saya menunda perjalanan karena nyeri bulanan. Sedangkan teman-teman lain juga tersandung kesibukan. Alhasil, baru hari ini kami bisa menemui perangkat desa. Meskipun 'uluk salam' mah sudah sejak lama. Heuheu.
Rombongan semakin banyak ketika kami tanpa sengaja bertemu teman-teman lainnya. Selain itu, Kepala Museum Multatuli Lebak, Kang Ubai juga berkabar akan menyusul kami ke Ciboleger. Alhamdulillah, akan semakin haneuteun. Setelah semua berkumpul, kami mulai berjalan menuju Kp. Kadu Gede melalui kampung di luar Desa Kanekes yang pernah ditinggali oleh Pater Nicolaas JC Geise OFM saat ia melakukan kajian etnografis di Baduy. Iya, Cipeureu. Kang Ubai tampak bersemangat menanyakan letak kampung Cipeureu pada beberapa warga yang berpapasan di jalan. Sementara kami terus nikreuh, jalan kaki dengan napas yang mulai kembang kempis.
Saat inilah saya merasa memang berat badan saya sudah di atas normal, masyaallah. Apalagi saat kami mulai memasuki jalanan yang menanjak dan menanjak. Padahal, tanjakannya tidak terlalu curam seperti halnya saat perjalanan ke Kampung Cisaban. Saya sudah mulai masuk fase 'terlalu bahenol' sepertinya. Beurat! Haha.
Perjalanan dari Ciboleger ke Kp. Kadu Gede melalui Kp. Cipeureu tidak memakan waktu lama. Saya yang berjalan paling belakang akhirnya sampai juga di kampung yang tampak sepi itu. Kebanyakan warga kampung ini banyak menghabiskan waktu di huma, karena itu dipilih sebagai tempat residensi. Tapi, kami yang baru pertama kali akan berkunjung ke Ki Pantun ini sedikit kebingungan mencari letaknya. Setelah bertanya pada anak-anak yang sedang bermain bola, sekaligus dipanggil oleh suara khas salah seorang peserta, kami akhirnya bergabung kembali dengan rombongan.
Di beranda rumah Ki Pantun dan salah satu rumah lainnya yang kosong, kami melepas lelah sambil bercengkrama. Kopi, air, dan suguhan lainnya sudah dikeluarkan. Begitu juga camilan yang kami bawa. Di salah satu sudut, mata saya melihat buah yang tidak asing. Buah sorga, saya menyebutnya. Apalagi kalau bukan petai. Meskipun petai yang ini memiliki karakteristik lain dari petai di pasaran. Kulitnya lebih keras dengan isi atau biji lebih kecil. Rasanya juga tidak pengar seperti petai. Tapi lebih ke rasa lamtoro atau petai cina. Dan ini bukan petai, tapi petir.
Anak-anak yang sebelumnya saya lihat bermain bola, turut bergabung bersama kami. Saya terus berusaha mengabadikan keriuhan itu melalui ponsel saya. Yah, tujuan kedatangan saya mah memang salah satunya untuk mengabadikan moment. Saya pun mengajak anak-anak itu ke area yang lebih tinggi agar saya dapat mengambil gambar pemandangan. Di depan rumah yang berada di dataran paling tinggi itulah saya mengambil beberapa cuplikan video dan foto. Tidak lupa meminta anak-anak berpose. Setelahnya, saya mengajak mereka kembali karena sandekala akan segera tiba.
Sekembalinya ke rumah Ki Pantun, beberapa teman sudah mulai membersihkan diri. Pakaian sudah berganti, saya juga turut berganti pakaian meskipun memutuskan untuk tidak mandi karena kabarnya airnya tidak keluar. Setelahnya, kami makan malam di pawon Ki Pantun. kMalam harinya, Mang Jamal datang dan kami berkumpul di pawon sembari berbincang mengenai berbagai hal. Termasuk harapan-harapan mereka sebagai warga Baduy untuk kesenian dan kebudayaan Baduy.
0 Comments