Tiga Supata dari Masa yang Pernah Ada
Dari awal tahun ini, sesi beberes masih berlangsung. Ada banyak hal yang saya temukan. Baik kelakuan orang, sifat mereka, maupun arsip-arsip yang membuat saya nyengir sendirian karena ini sungguh menggelikan. Tapi, mungkin karena itu pula saya sampai pada pemahaman saat ini. Beruntungnya saya telah melewati hal itu, meskipun asli agak menggelikan jika mengingatnya kembali. Sampai segitunya. Cuma dua kata yang begitu saja meluncur dari mulut saya saat ini.
Saya jadi teringat beberapa kalimat bagus tentang apa yang kita bayar dari setiap perbuatan. Khususnya hubungan antar sesama manusia. Mungkin ini juga menjadi penyebab beberapa hal harus dibayar oleh orang-orang yang telah berlaku kurang ajar pada saya, terlepas dari banyak atau sedikit mereka berkontribusi di dalamnya.
Yah, beruntungnya menyerahkan segala pembalasan pada semesta itu adalah kita tidak perlu repot-repot melakukan apapun, kita hanya perlu duduk manis dan menonton kejatuhan demi kejatuhan dari orang-orang itu. Dendam? Oh, iya awalnya. Karena itulah sajak-sajak ini hadir dan saya kirimkan ke Banjarbaru Rainy Days Festival 2017. Lucu jika saya baca saat ini. Mau tertawa bareng?
Supata I
kau yang tertidur di belantara
bangun dan sembunyilah
di balik halimun atau gugur daun
hingga tangan semesta menyentuh temali
untuk mempertemukan kita lagi
kau yang dibawa pergi
bangun dan segeralah kembali
supata purba yang mengakar ke pusar bumi
telah menjerat kaki si serakah dan si dengki
hingga tak akan bisa menginjak tanah ini lagi
kau yang sering alpa
bersiaplah terjaga
tangan-tangan penghancur
sedang tunaikan tugas baru
tipu muslihat begitu pengar
agama dibuatnya begitu pemarah
ras dan suku dibuatnya serupa tisu murah
keadilan semakin sulit terarah
kau yang khianat
bersiaplah dilaknat
pusar angin telah terbuka
Dia yang murka akan segera tiba
membawa janji semesta
kau akan binasa!
(Mandalawangi, 2017)
* * *
Supata II
angin Selatan bersiut mengirim badai ke Utara
bersama tujuh kutuk paling purba
seakan bersiap melilit angka-angka
dalam kalender sebelum purnama tiba
sebelum sembilan pedang dihunus,
ditunjuk ke langit dan ditujah ke bumi
O’ biyung, petaka apa kiranya?
siapa dia yang menghela puja-puja di sandekala?
bola api menyala di udara
suara genta terdengar gemerincing
dari jauh hingga pekak telinga
entah siapa yang memainkannya
atau dari mana asalnya
O’ biyung pencipta tiga Loka!
kutangkup tangan di dada
sungguh, aku tak hapal mantra penolak bala
di antara kesiut angin yang mengubah rambut
menjadi mata pisau paling sengit
(Baros, Oktober 2017)
* * *
Supata III
sajakku lahir dari kedalaman segara
yang mengirim gelombang
kehancuran bagi yang menyuguhkan dusta,
air mata dan cinta yang merana
sajakku lahir dari pusar angin
yang menghela kepedihan untuk kau rasa
penghianatan, putus asa, karma
menjadi tali kekang ini supata
sajakku lahir dari pusat bumi
yang keluar untuk menelikungmu
di kehidupan mana saja
bila kau ingkari janji di tepi telaga
: bersama selamanya
atau mati sebagai pendosa
(Mandalawangi, Oktober 2017)
Bagaimana? Apakah kamu merasakan sesuatu? Kalau saya sendiri, nyengir. Njir, ini apaan? Saya merasa bahwa diri saya saat itu sedang 'menghilang' atau 'tenggelam' dalam amarah yang luar biasa di dalam diri saya. Kemarahan yang kemudian saya keluarkan melalui ketiga sajak itu. Bagaimana pun, saya bersyukur sudah melewati dan terlepas dari masa-masa itu. Saya tidak menyimpan dendam. Perasaan marah atau benci pun sudah tidak ada. Satu hal yang pasti, saya tidak memiliki keinginan untuk mengulang, atau bahkan berhubungan lagi dengan apapun di masa-masa itu. Saya sudah mengembalikan perasaan-perasaan tidak mengenakan itu pada yang punya, pada semesta alam. Dan itu melegakan, sekaligus meringankan langkah saya saat ini. Saya menolak terhubung, bergantung atau bahkan melekat pada segala sesuatu yang hanya membuat jiwa saya tidak berkembang.
Karena apa? Hidup ini harus terus berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan pada saya oleh-Nya, dan bukan oleh siapapun di luar diri saya. Terima kasih, ya.
0 Comments