Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional: Menguak Tragedi Kemanusiaan yang Tak Terlupakan



Setiap tanggal 30 Agustus, dunia memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional atau International Day of the Victims of Enforced Disappearances. Hari ini didedikasikan untuk mengenang dan memberikan penghormatan kepada para korban penghilangan paksa, serta meningkatkan kesadaran global akan pelanggaran hak asasi manusia yang serius ini.

Apa Itu Penghilangan Paksa?

Penghilangan paksa adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi ketika seseorang ditangkap, ditahan, atau diculik oleh pejabat negara, kelompok terorganisir, atau individu yang bertindak atas nama pemerintah. Orang tersebut kemudian dihilangkan dari masyarakat tanpa kejelasan nasib atau keberadaannya. Menurut Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa yang diadopsi Majelis Umum PBB pada tahun 1992, penghilangan paksa menempatkan korban di luar perlindungan hukum dan melanggar berbagai hak asasi manusia, seperti hak atas kebebasan, keamanan pribadi, dan hak untuk hidup.

Dampak Penghilangan Paksa: Lebih dari Sekedar Korban

Penghilangan paksa tidak hanya berdampak pada korban yang diculik, tetapi juga merusak mental dan kehidupan sosial keluarga serta masyarakat sekitarnya. Para korban sering kali mengalami penyiksaan dan ketakutan akan keselamatan mereka. Bagi keluarga korban, penderitaan tidak berhenti pada hilangnya orang yang mereka cintai. Mereka harus menghadapi ketidakpastian yang menyakitkan—tidak tahu apakah orang yang hilang masih hidup atau sudah meninggal, di mana mereka berada, dan dalam kondisi apa mereka ditahan.

Selain penderitaan emosional, keluarga korban sering kali menghadapi masalah ekonomi yang serius. Banyak dari mereka kehilangan pencari nafkah utama keluarga, yang menyebabkan marginalisasi ekonomi dan sosial. Perempuan, yang sering kali berada di garis depan dalam perjuangan mencari kebenaran, juga rentan terhadap intimidasi, penganiayaan, dan kekerasan.

Penghilangan Paksa Sebagai Strategi Penindasan

Penghilangan paksa bukanlah fenomena yang terbatas pada satu wilayah atau zaman tertentu. Awalnya sering terjadi di bawah rezim kediktatoran militer, kini penghilangan paksa juga terjadi dalam situasi konflik internal dan digunakan sebagai alat untuk menekan lawan politik. Kasus-kasus ini sering kali dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban, yang mengakibatkan impunitas yang meluas.

Lebih dari 85 negara di seluruh dunia tercatat telah mengalami kasus penghilangan paksa, dengan ratusan ribu orang yang hilang selama konflik atau masa penindasan. Praktik ini tidak hanya merusak keluarga dan komunitas, tetapi juga menyebarkan rasa takut dan ketidakamanan di seluruh masyarakat.

Upaya Global Melawan Penghilangan Paksa

Penghilangan paksa telah diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional dan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Kedua instrumen hukum ini menegaskan bahwa tindakan penghilangan paksa, jika dilakukan secara sistematis, merupakan kejahatan berat yang tidak boleh dibiarkan tanpa hukuman.

PBB menetapkan 30 Agustus sebagai Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa** melalui resolusi 65/209 pada tahun 2010. Peringatan ini dimulai sejak 2011 sebagai respons atas meningkatnya jumlah kasus penghilangan paksa di berbagai belahan dunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat global akan dampak buruk penghilangan paksa dan mendorong upaya untuk mencari kebenaran, keadilan, dan pemulihan bagi para korban dan keluarganya.

Kasus Penghilangan Paksa di Indonesia

Indonesia juga memiliki sejarah kasus penghilangan paksa yang menjadi sorotan internasional. Berikut adalah beberapa kasus penting:

1. Kasus Penghilangan Paksa Tahun 1997-1998

Penculikan dan penghilangan paksa yang terjadi pada periode 1997-1998 di Indonesia mengacu pada masa Pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres) periode 1998-2003. Selama masa ini, terdapat dua agenda politik besar: Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan Sidang Umum Majelis Rakyat (MPR) pada Maret 1998, yang memutuskan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Pada periode ini, aktivis, generasi muda, dan mahasiswa yang mengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru dan memperjuangkan keadilan dan demokrasi menjadi target penculikan dan penghilangan paksa. Dari total kasus, 9 orang berhasil kembali, sedangkan 13 orang masih dinyatakan hilang hingga saat ini.

2. Kasus Tanjung Priok 1984

Pada 10 September 1984, kerusuhan di Tanjung Priok, Jakarta Utara, menjadi berita besar setelah insiden yang melibatkan Babinsa (Bintara Pembina Desa) yang tidak menghormati musala dan menggunakan air kotor untuk menghapus pamflet protes. Situasi ini memicu kemarahan masyarakat, yang berujung pada kericuhan dan penembakan oleh aparat keamanan.

Akibatnya, laporan resmi mencatat bahwa 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka, sementara laporan Komnas Perempuan mencatat 23 orang tewas dan 78 orang luka-luka, menunjukkan kekerasan yang sangat brutal terhadap masyarakat sipil.

3. Kasus Talangsari 1989

Kasus Talangsari 1989 melibatkan kekerasan yang dilakukan oleh tentara terhadap warga sipil di bawah pemerintahan Soeharto. Penyerangan tersebut mengakibatkan pembunuhan terhadap 130 orang, deportasi paksa 77 orang, serta penyiksaan dan penganiayaan terhadap ratusan orang lainnya. Kasus ini mencerminkan pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematis oleh aparat negara.

Makna Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional

Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional memiliki beberapa makna penting:

1. Meningkatkan Kesadaran Global: Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran global mengenai penculikan paksa dan dampaknya terhadap korban dan keluarga mereka. Ini juga menyoroti pentingnya tindakan internasional untuk melindungi hak asasi manusia.

2. Mendorong Tindakan Kolektif: Peringatan ini mendorong negara-negara dan masyarakat internasional untuk mengambil tindakan kolektif dalam melawan penghilangan paksa dan memastikan bahwa pelanggaran HAM tersebut tidak dibiarkan tanpa hukuman.

3. Melindungi Hak Asasi Manusia: Hari ini menjadi momentum untuk menegaskan komitmen terhadap perlindungan hak asasi manusia dan martabat manusia, serta mengadvokasi perubahan kebijakan untuk mencegah penghilangan paksa di masa depan.

4. Menghormati Korban: Peringatan ini juga menghormati para korban penghilangan paksa dan keluarga mereka, yang telah mengalami penderitaan mendalam akibat tindakan kejam ini.

Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional adalah momen penting untuk mengingatkan kita semua tentang tragedi kemanusiaan yang terjadi akibat penghilangan paksa. Ini adalah kesempatan untuk merenungkan betapa pentingnya hak asasi manusia dan perlindungan hukum bagi setiap individu, serta mendesak para pemimpin dunia untuk bertanggung jawab atas tindakan keji ini. Dengan terus memperingati hari ini, kita berkomitmen untuk mendukung para korban dan keluarga mereka dalam perjuangan mereka untuk kebenaran dan keadilan.

You Might Also Like

0 Comments