Durian Spesial
"Itu durian paling enak yang sengaja saya siapkan untuk kamu," kata orang nomor satu di negeri ini ke arah saya yang masih asyik memotret. Selepas acara temu wicara, seluruh undangan dan wartawan diajak ke taman belakang. Senja yang mulai menyamak menciptakan suasana lebih akrab dan tanpa sekat. Saya masih belum menjawab, dan bingung. Sementara lelaki itu menatap saya sambil tersenyum. Ia mencolek ke arah boss saya. "Anak buah kau telmi, ya?" Tanyanya sambil terkekeh. "Biasa, dia kaget, pak." Jawab boss saya turut terkekeh.
Mendengar dan melihat keduanya tertawa, saya sedikit menggelengkan kepala. "Maaf, maksud bapak itu saya?" Tanya saya. Keduanya semakin tergelak melihat ekspresi kebingungan saya.
"Iya, kamu, Utari," jawab boss saya. Mata saya terbeliak. Ada nyala bahagia sekaligus hangat di dada. Ini menjadi kejutan spesial bagi perempuan yang tidak pernah merasa dispesialkan selama hidupnya. Ketika seseorang peduli seperti ini, saya justru terkejut dan heran. Masih ada manusia yang peduli pada saya?
"Ini titipan, neng. Udah, sana ambil dan buka," perintah boss saya. Saya menatap lelaki nomor satu itu, meminta persetujuan. Ia mengangguk sambil tersenyum.
Dengan langkah bahagia, saya segera menghampiri seorang lelaki berseragam yang sedang menyiapkan durian-durian untuk para tamu. Saya menepuk pundaknya, dan meminta tolong untuk dibukakan satu untuk saya. Di sebelahnya, durian-durian berjejer. Semuanya disiapkan untuk para tamu, dan durian spesial untuk saya ada di antaranya. Kenapa tidak dipisahkan saja, ya? Hmm, tapi mungkin agar tidak tampak 'pilih kasih'? Entahlah.
"Coba dulu," ujar lelaki yang membantu saya membelah durian itu. Saya julurkan jari telunjuk saya untuk mencoel daging durian berwarna kuning itu. Rasa manis menyentuh lidah saya. "Hmm," mulut saya bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Lelaki itu kemudian menyodorkan durian yang telah dibelah itu pada saya. Namun, belum sampai di tangan saya, orang-orang mulai menyerbu ke arah saya. Semuanya berebut, ingin makan durian yang disiapkan. Semuanya tampak bernafsu dan rakus. Bagaimana tidak, setelah menyuapkan ke mulut, mereka mengambil lagi dengan dua tangannya. Barangkali, jika tangannya ada 10, niscaya sebiji durian dengan dagingnya yang tebal ada di masing-masingnya. Beberapa orang yang saya kenal juga turut berada di antara mereka. Tapi kenapa malah berpusat di durian yang ada di tangan saya?
Dengan bingung, saya mulai berusaha keluar dari kerumunan itu, lalu berdiri beberapa langkah saja.
"Bagaimana? Duriannya manis?" Tanya lelaki nomor satu itu sembari menepuk bahu saya. Saya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari keriuhan itu. Tanpa sadar, jari telunjuk yang tadi mencolek daging durian saya acungkan sebagai tanda bahwa saya sudah mencicipinya. "Pasti tidak kebagian...," ujarnya lagi sambil terkekeh-kekeh. "Kamu lihat siapa yang memakan bagianmu?" Suara tanyanya itu menuntun mata saya melihat ke tempat durian spesial itu berada. Alamak! Orang-orang terdekat? Dada saya terasa tertusuk. Napas saya sedikit memberat. Ada tangis yang saya tahan. Bagaimanapun, saya masih punya rasa malu untuk menunjukkan seluruh perasaan saya di hadapannya. Tapi, ia sepertinya paham dengan apa yang sedang saya rasakan.
Tanpa bicara, ia menggandeng tangan saya menuju ke pintu masuk istana. Sembari berjalan, pikiran saya terus mencerna peristiwa itu. Demi langit dan bumi, saya masih belum paham! Bagaimana orang-orang terdekat saya bisa serakus itu? Apakah selama ini saya tidak pernah melibatkan mereka dalam setiap pekerjaan yang saya lakukan? Atau itukah jati diri mereka yang sebenarnya?
(bersambung...)
0 Comments