Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi: Ketika Laut Membawa Semangat Perlawanan
Genk, pernah denger kisah kapal perang Belanda yang jadi saksi bisu pemberontakan legendaris tahun 1933? Namanya De Zeven Provinciën! Ini bukan cuma soal kapal perang biasa, tapi juga cerita tentang keberanian dan semangat melawan ketidakadilan. Yuk, kita bahas bareng sambil santai, biar nggak kayak belajar sejarah, hehe.
Awal Mula Drama di Laut
Bayangin, Genk. Tahun 1933, dunia lagi krisis ekonomi parah. Semua negara kalang kabut, termasuk Belanda yang waktu itu sibuk ngurus Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Untuk nutupin defisit anggaran, pemerintah kolonial malah motong gaji pegawai mereka, termasuk pelaut, sampai 17%! Udah kerja jauh dari rumah, gaji malah dipotong. Kesel banget, kan?
Kebijakan ini diumumin awal Januari 1933 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis De Jonge. Nggak heran, gelombang protes langsung muncul di mana-mana. Di Surabaya, pelaut Angkatan Laut Belanda yang mayoritas pribumi mulai demo besar-besaran. Berita soal ini akhirnya sampai ke telinga kru kapal De Zeven Provinciën yang lagi patroli di perairan Aceh. Dan di sinilah semua dimulai, Genk.
Pahlawan Perlawanan di Kapal
Di tengah keresahan itu, ada sosok-sosok berani seperti Martin Paradja, Rumambi, dan Kawilarang. Mereka pelaut pribumi yang udah nggak tahan dengan perlakuan nggak adil. Bareng Maud Boshart, pelaut Belanda yang mendukung perjuangan mereka, mereka mulai rencana pemberontakan.
Komandan kapal, Eikenboom, sempat berusaha menenangkan kru dengan pidato. Tapi, bukannya tenang, para pelaut malah makin marah. Mereka mulai mengorganisir diri di darat dan menyusun strategi. Target mereka jelas: rebut kendali kapal dan tunjukkan perlawanan!
Malam yang Mengubah Segalanya
Tanggal 4 Februari 1933, situasi di kapal memanas. Para perwira Belanda sibuk pesta pora di darat, lengkap dengan uang gulden dan hiburan mewah. Tapi, pelaut pribumi menolak ikut. Malam itu, pemberontakan pecah.
Martin Paradja memimpin aksi. Peluit panjang dibunyikan, tanda perlawanan dimulai. Para pelaut pribumi berhasil merebut kapal. Dengan semangat berkobar, mereka mengarahkan De Zeven Provinciën menuju Surabaya. Di perjalanan, mereka bahkan sempat bikin siaran pers dalam tiga bahasa – Belanda, Inggris, dan Indonesia. Intinya? Mereka melawan ketidakadilan gaji.
Paniknya Pemerintah Kolonial
Belanda langsung panik, Genk. Mereka ngirim kapal perang Hr.Ms. Aldebaren buat mengejar. Tapi, kapal itu nggak berani mendekat karena kalah persenjataan. Akhirnya, Belanda ngeluarin kartu truf: kapal Hr.Ms. Goudenleeuw dan pesawat pembom Dornier.
Di Selat Sunda, situasi makin tegang. Pesawat Dornier mulai menjatuhkan bom ke kapal. Ledakan besar bikin kapal porak-poranda. Martin Paradja gugur, dan banyak pelaut lain terluka. Akhirnya, kru yang tersisa menyerah. Sebanyak 545 pelaut pribumi dan 81 awak Belanda ditangkap. Mereka dibawa ke Pulau Onrust untuk diadili.
Akibat yang Menggema
Pemberontakan ini jadi momen penting dalam sejarah, Genk. Dampaknya besar:
1. Pemerintah Kolonial Terpojok: Gubernur Jenderal De Jonge dikritik habis-habisan, bahkan oleh orang Eropa di Hindia Belanda.
2. Pengetatan Gerakan Nasionalis: Belanda makin keras terhadap gerakan nasionalis.
3. Pembredelan Media: Banyak media dibungkam, termasuk Soeara Oemoem milik Dr. Soetomo.
Pelajaran dari Laut
Cerita De Zeven Provinciën ini ngajarin kita bahwa keberanian nggak kenal tempat. Di atas kapal perang yang terombang-ambing di laut, semangat melawan ketidakadilan tetap menyala. Kisah ini bukti kalau sejarah bukan cuma tentang pemimpin besar, tapi juga tentang orang-orang biasa yang berani memperjuangkan keadilan.
Gimana, Genk? Keren banget, kan, kisah ini? Kalau ada cerita sejarah lain yang bikin kalian penasaran, kasih tahu aja! Kita bahas bareng lagi.
0 Comments